Translate

Mencari Artikel

FIND(Mencari)

Monday 10 June 2013

Jauhi Fanatisme

IV.3.  JAUHI FANATISME
          قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَدْعُو عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ[1]
        Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa mati dibawah bendera kefanatikan, bermusuhan dan menyeru kepada kefanatikan atau menolong karena fanatik maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.”
Salah satu bencana yang menimpa umat Islam adalah penyakit fanatik kepada guru, ustadz, kyai, habib, syaikh, manhaj, madzhab, jama’ah dan organisasi. Satu dan yang lainnya saling membangga-banggakan kelompoknya. Bahkan ada yang sampai tingkat kultus dan berlebih-lebihan. Misalnya ada yang mengklaim manhaj A adalah kebenaran dan tiada lain Islam itu sendiri. Karena manhaj ini telah ada sejak zaman nabi Adam AS. Bahkan penulis pernah bertanya kepada seseorang, “Dosakah apabila saya tidak bermanhaj A.”? Beliau menjawab, “Berdosa.” Dalam hati saya tertawa, betapa “fanatik”nya orang-orang semacam ini.
Padahal manhaj hanyalah cara atau metode atau pendekatan dalam memahami Islam. Karena itu ada kemungkinan benar dan salah. Apalagi manhaj tersebut merupakan produk atau disusun oleh seorang ulama atau mujtahid.
          Begitupun yang lain. Mempersyaratkan agar menuntut ilmu agama kepada orang yang sanadnya atau silsilahnya bertemu sampai nabi SAW dan harus keturunan ahlul bait. Kadang penulis berfikir, “Kasihan benar universitas-universitas atau sekolah-sekolah agama tersebut, karena memang tidak memiliki sanad sampai nabi SAW.” Atau para guru pesantren, madrasah dan TPA yang tidak memiliki sanad hingga Nabi SAW. Serta kasihan juga para LC, MA, DR dan Profesor dan para dosen di bidang keagamaan, ijazah dan ilmunya tidak laku, karena sebagian besar diantara mereka memang bukan keturunan ahlul bait. Dan tidak memiliki sanad hingga nabi SAW.
          Tak terkecuali aliran jihad yang mempersyararatkan untuk belajar kepada para ulama mujahid saja atau ahli tsugur. Jangan belajar kepada para ulama qaa’idun. Yaitu ulama yang duduk-duduk atau para kutu buku atau para peneliti (muhaqiq).
          Demikian halnya aliran suluk hanya percaya kepada para President Grand Syaikh yang membimbing kehidupan spiritual mereka. Meskipun kadang pendapat-pendapat dan perilakunya ganjil, namun tetap saja diikuti dan ditaklidi.
          Mari kita kembali kepada dalil. Bukan orang. Yaitu kembali kepada Alqur’an dan sunnah nabi SAW. Unzhur Maa Qaa la wa laa tanzhur man qaa la (Perhatikan apa yang dia katakan, jangan memperhatikan orang yang mengatakan).  Serta mari kita dengarkan nasehat Rasulullah dan para imam mujtahid yang faqih dan mendalam ilmunya.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّة[2]ٍ
         
Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Bukan bagian dari kami orang yang menyeru kepada ashabiyah[3] dan bukan bagian dari kami orang yang berperang karena ashabiyah dan bukan bagian dari kami orang yang mati karena ashabiyah”.
          Imam Abu Hanifah berkata, “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang kepada perkataan kami selagi ia tidak mengetahui dari mana ia mengambilnya.” Dalam riwayat lain dinyatakan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya pada esok hari.[4]
          Imam Malik berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia yang dapat salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan kitab dan sunnah, tinggalkanlah.” Tidak ada seorangpun setelah Nabi SAW, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan ada yang ditinggalkan.”[5]
            Imam Syafi’i[6] berkata, “Tidak ada seorangpun kecuali ia bermadzhab kepada sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah SAW yang bertentangan dengan ucapanku, maka peganglah sabda Rasulullah SAW. Inilah ucapanku.”
            “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya sunnah Rasulullah SAW, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan sesorang.”
            “Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah SAW dan tinggalkanlah apa yang aku katakana.”
            “Apabila hadits itu sahih maka ia adalah madzhabku.”
            “Setiap masalah yang di dalamnya kabar dari Rasulullah SAW adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakana, maka aku meralatnya dalam hidupku dan setelah aku mati.”
            “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi SAW terdapat hadits shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi lebih utama. Oleh karena itu janganlah kalian mengikuti aku.”
            Imam Ahmad bin Hambal[7] berkata, “Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auzai dan Tsauri, tapi ambillah dari mana mereka mengambil.”
            “Pendapat Auza’i. pendapat Malik dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar.”
            “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah SAW, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran.”
            Janganlah kita seperti orang-orang arab jahiliyah yang mengikuti sesuatu peninggalan nenek moyang secara membabi buta serta tidak peduli benar atau salah sebagaimana firman Allah :
مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ وَلَكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahiirah[8], saaibah[9], washiilah[10] dan haam[11]. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Al Maaidah 5:103).
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
            Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul." Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. (Al Maaidah 5:104).
            يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. “(At Taubah 9:23).
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
          Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”(At Taubah 9:24).


[1] Shahih Muslim 9:392:3440, Sunan Nasai 12:487:4045, Sunan Ibnu Majah 11:439:3938
[2] Sunan Abu Dawud 13:325:4456
[3] Fanatisme suku, kelompok, golongan, bangsa dan negara
[4] M. Nashiruddin Albani, Sifat Sholat Nabi, Gema Risalah Press (Bandung:2000), hal. 14-15.
[5] Ibid
[6] Ibid hal 18-21.
[7] Ibid hal 21-22.
[8] Bahiirah: ialah unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil air susunya.
[9] Saaibah: ialah unta betina yang dibiarkan pergi kemana saja lantaran sesuatu nazar. Seperti, jika seorang Arab Jahiliyah akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, maka ia biasa bernazar akan menjadikan untanya saaibah bila maksud atau perjalanannya berhasil dengan selamat.
[10] Washiilah: seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan dan betina, maka yang jantan ini disebut washiilah, tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala.
[11] Haam: unta jantan yang tidak boleh diganggu gugat lagi, karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali. Perlakuan terhadap bahiirah, saaibah, washiilah dan haam ini adalah kepercayaan Arab Jahiliyah.

No comments: