Translate

Mencari Artikel

FIND(Mencari)

Tuesday 16 July 2013

Hati-Hati Dalam Memvonis

IV.9.  HATI-HATI DALAM MEMVONIS
          Beberapa waktu yang lalu penulis pernah mendengar penceramah yang mudah mengobral kata-kata kafir. Beliau berkata MUI kafir, pemerintah kafir, partai-partai kafir, bahkan hampir semua ummat Islam Indonesia kafir hanya karena permasalahan fatwa wajibnya memilih pemimpin dalam pemilu 2009.

          Saya terkesima mendengar pendapat tersebut. Sambil bergurau saya katakan, “Ustadz antum beraliran khawarij.” Tapi tak kalah sigap beliau menyatakan, “Antum murji’ah salafy gendeng.” Padahal saya bukan salafy. Dan sambil bergurau saya sering katakan kepada orang-orang yang fanatik kepada kelompoknya bahwa saya adalah RUSULI. Yaitu pengikut 25 nabi dan Rasul. Setelah melalui dialog yang panjang lebar saya hanya bisa tertawa geli dalam hati. Sebab konsekuensi penjatuhan fatwa kafir mengandung banyak konsekuensi, diantaranya ia harus dihukum mati karena murtad, atau diceraikan dengan istrinya, hilangnya mendapatkan hak waris serta hak-hak lainnya sebagai kaum muslimin.
          Da’i-dai semacam itu bukan hanya satu dua, mungkin bisa mencapai ratusan atau ribuan orang. Masing-masing memiliki kata-kata yang khas untuk menjuluki orang lain yang berbeda pendapat atau pemahaman dengan kelompoknya. Padahal mereka hanyalah ustadz atau da’i bahkan sebagian hanyalah para penuntut ilmu bukan mufti atau hakim sebuah mahkamah syariat.
Karena itulah penulis teringat dengan sebuah semboyan, “Nahnu du’at laa qudat.” Kita ini da’i bukan hakim. Jadi tugas kita hanyalah menyampaikan bukan menghakimi. Tugas da’i mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan hikmah dan nasehat yang baik. Yaitu dengan saling menasehati dalam kebenaran (tawashu bil haqq), dalam kesabaran (bish shobri) dan kasih sayang (bil marhamah).
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(An Nahl 16:125).
Hikmah memiliki beberapa makna diantaranya adalah perkataan yang benar, bijak atau sunnah. Menurut Imam Thabari maksudnya adalah wahai Muhammad Aku telah mengutusmu kepada umat manusia untuk menyeru kepada Tuhan yang wajib ditaati. Adapun hikmah maknanya adalah wahyu Allah yang diturunkan kepadamu. [1] Dengan demikian hikmah bermakna Alqur’an dan sunnah. Dengan nasehat yang baik berarti dengan pelajaran yang indah dimana Allah telah menjadikannya sebagai hujjah kepada mereka dalam kitabNya. Menurut tafsir Jalalain yaitu dengan cara membaca dan memikirkan tanda-tanda kekusaan Allah baik yang tersurat maupun yang terlihat di alam semesta ini.
Untuk itulah para da’i atau ustadz dituntut berdakwah dengan hikmah menggunakan kata-kata yang bijak yang menyentuh kalbu. Dengan perkataan yang benar (qaulan sadiidan), dengan ucapan yang ma’ruf (qaulan ma’ruufan), dengan perkataan yang lembut (qaulan layyiinan), dengan penyampaian yang jelas dan gamblang (qaulan baliighan). Atau perkataan yang baik (qaulan kariiman) atau ucapan yang layak atau pantas (qaulan maisuuran) dan perkataan yang berbobot (qaulan tsaqiilan).
     Pertama, Qaulan ma’rufan. Atau perkatan yang baik. Yaitu pribadi yang berbicara dengan cara yang baik dan menggunakan istilah-istilah yang baik yang selaras dengan nilai-nilai kebaikan. Menghindari perkataan yang kasar, keras dan mendiskreditkan.

ru)ÎŒs# myØ|Žu #$9ø)É¡óJyps &ér'9äq#( #$9ø)àö1n4 ru#$9øŠuGt»Jy4 ru#$9øJy¡|»6Åüûß ùs$$öã%èqdèN BiÏY÷mç ru%èq9äq#( ;mlçOó %sqöwZ B¨è÷ãrù]$ ÈÑÇ
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (An Nisaa 8)
     
ƒt»YÏ¡|$!äu #$9Z¨<ÉÓcÄ 9s¡óøäû¨ 2Ÿ'rnt7 BiÏ`z #$9YiÏ¡|$!äÏ 4 )ÎbÈ #$?¨)søøäû¨ ùsxŸ BrƒøÒŸè÷`z /Î$$9ø)sqöAÉ ùsŠuÜôJyìy #$!©%Ï ûÎ %s=ù7ÎmϾ BttÚÖ ru%è=ù`z %sqöwZ B¨è÷ãrù]$ ÈËÌÇ
“Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” (Al Ahzab 32).

      Kedua, Qaulan sadiidan. Yaitu pembicaraan yang benar, tidak bohong dan tidak berbelit-belit. Sehingga yang benar itu nampak benar dan yang salah nampak salah. Bukan sebaliknya justru menjadi kabur dan membingungkan.
ru9øu÷·| #$!©%Ïïúš 9sqö ?st.äq#( BÏ`ô zy=ùÿÏgÎOó Œèh̓­pZ ÊÅèy»ÿ¸$ {s%ùèq#( æt=nŠøgÎNö ùs=ùuG­)àq#( #$!© ru9øu)àq9äq#( %sqöwZ yσ´# ÈÒÇ
      “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An Nisaa 9)
ƒt»¯'rškp$ #$!©%Ïïût äu#BtZãq#( #$?®)àq#( #$!© ru%èq9äq#( %sqöwZ yσY# ÈÉÐÇ
      “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar” (Al Ahzab 70).

      Ketiga, Qaulan Baliighan. Balagha dalam bahasa arab berarti dia menyampaikan. Berarti pula fasih, jelas maknanya, terang dan tepat pengungkapannya. Dengan demikian maka perkataan tersebut akan sampai kepada yang dituju, efektif dan tepat sasaran.

     &ér'9s»¯´Í7y #$9©Éïúš ƒtè÷=nNã #$!ª Bt$ ûÎ %è=èq/ÎhÎOó ùs'rãôÌÚó ãt]÷kåNö ruãÏàôgßNö ru%è@ ;°lçNö ûÎ_þ &rRÿà¡ÅhÎNö %sqöwK /t=ΊóZ$ ÈÌÏÇ
      “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (An Nisaa 63)

ruBt$! &röy=ùZu$ BÏ` §ßqA@ )Îwž /Î=Ρ|$bÈ %sqöBÏmϾ 9ÏŠã7tüiÎúš ;mlçNö ( ùsŠãÒÅ@ #$!ª Bt` o±t$!äâ ruƒtgôÏ Bt` o±t$!äâ 4 rudèqu #$9øèy̓â #$9øsy3ÅOÞ ÈÍÇ
      “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (Ibrahim 4)
      Qaulan Maisuran. Yaitu perkataan yang pantas. Sehingga dengan perkataan ini lawan bicara menjadi senang. Tidak merasa direndahkan apalagi dilecehkan.
    
ru)ÎB¨$ ?èè÷ÌÊ|`£ ãt]÷kåNã #$/öGÏót$!äu uq÷Hup7 BiÏ` ¢/iÎ7y ?sö_ãqdy$ ùs)à@ ;°lçNö %sqöwZ B¨Šø¡ÝqY# ÈÑËÇ

      “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka Ucapan yang pantas” (Al Israa 28).
      Qaulan Layyinan. Yaitu perkataan yang lemah lembut. Sehingga perkataan ini dapat meluluhkan hati. Dan dapat diterima oleh semua kalangan, khususnya oleh orang-orang yang sombong, durhaka dan keras kepala.

ùs)àqwŸ 9smç¼ %sqöwZ 9©hÍYY$ 9©èy#©&ã¼ ƒtFtx.©ã &rr÷ sƒø´yÓ4 ÈÍÍÇ
      “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".(Thaahaa 44)

      Qaulan kariiman. Atau perkatan yang mulia. Yaitu perkataan yang memuliakan dan menghormati teman bicara.

* ru%sÓ|Ó4 u/7y &rwž ?sè÷7çßrÿ#( )ÎwH )΃­$nç ru/Î$$9øquº!Î$tïøûÈ )Îmô¡|»Z·$ 4 )ÎB¨$ ƒt7ö=èót`£ ãÏYy8x #$9ø6Å9yŽu &rntßdèJy$! &rr÷ .ÏxŸdèJy$ ùsxŸ ?s)à@ ;°lçJy$! &é$e7 ruwŸ ?s]÷kpödèJy$ ru%è@ 9©gßJy$ %sqöwZ 2ŸÌƒJV$ ÈÌËÇ
     “Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (Al Israa 23).
     Terakhir yaitu Qaulan tsaqiilan. Perkataan yang berat yang mampu menghujam ke dalam hati, menjernihkan pikiran dan menggerakkan badan untuk melakukan perbuatan yang baik.

)ÎR¯$ yZã=ù+Å ãt=nøš %sqöwZ Or)Éx¸ ÈÎÇ
“Sesungguhnya kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (Al Muzammil 5).

Itulah beberapa cara komunikasi yang diajarkan Allah SWT. Semoga kita dapat mengamalkannya serta dapat menghindarkan diri dari ucapan yang kasar, berlebih-lebihan dan mudah memvonis orang lain. Serta jangan mudah melaknat orang lain. Karena Nabi kita diutus untuk memberikan rahmat bukan untuk melaknat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَال قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ قَالَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً[2]
Dari Abu Hurairah RA berkata : ada seseorang yang berkata, “Ya Rasulullah SAW, do’akanlah bencana bagi orang-orang musyrik.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku tidak diutus untuk melaknat tetapi aku diutus untuk memberikan rahmat.”
Rasulullah adalah rahmat bagi semesta alam. Bukan tukang laknat dan tukang kutuk seperti sebagian orang atau da’i yang mengaku mengikuti sunnah Nabi SAW. Padahal mereka adalah orang-orang musyrik. Lalu bagaimana mungkin ada ulama yang hobinya mengutuk kaum muslimin, hanya karena berbeda pendapat atau mungkin pendapatan.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”(Al Anbiyaa’ 21:107).
          Puluhan tahun yang lalu,  masalah mudah memvonis ini juga dikeluhkan oleh DR. Fathi Yakan, khususnya dalam msalah bid’ah yang belum tentu bid’ah. Beliau berkata :
          “Dari waktu ke waktu di negeri-negeri Islam muncul fenomena baru dan tidak lazim. Barangkali dibalik itu semua ada yang menggerakkannya. Yang menimal bertujuan memalingkan ummat Islam dari urusan-urusan pokok mereka. Mereka disibukkan dengan sengketa-sengketa internal yang terus marak, yang akhirnya menyebabkan lemah, acuh tak acuh dan buta tuli terhadap persekongkolan yang tengah mencengkeramnya.
            Yang menarik, fenomena ganjil ini terkadang kalau tidak boleh disebut sering dibungkus dengan baju ilmiyah, padahal hakekatnya jauh dari yang bernama ilmiyah.”[3]
            “Salah satu fenomena ganjil ini adalah cara baru dalam memerangi bid’ah yang ia sendiri ternyata bid’ah. Karena pertikaian, kedengkian dan kebimbangan yang meluas di kalangan ummat lantaran upaya itu lebih parah dari bahaya bid’ah, yang katanya akan diperangi itu. Mereka memerangi subhat tapi jatuh kepada yang haram. Mereka mengingkari kemungkaran tetapi terjerumus ke dalam kemungkaran yang lebih besar.”[4]



[1] Tafsir Thabari 17:321.
[2] Shahih Muslim 12:494:4704
[3] Fathi Yakan, Aids Haraki, Citra Islami Press (Jakarta:1993), hal.  26
[4] Ibid hal. 27.

No comments: