Translate

Mencari Artikel

FIND(Mencari)

Monday 17 June 2013

Mengqodha Puasa

Qadla Puasa Ramadlan
1.       Bagi orang-orang yang diberikan rukhshah untuk tidak berpuasa di bulan Ramadlan (karena safar, sakit, haidl, dan nifas), maka ia diwajibkan mengganti puasanya (qadla) tersebut di hari lain sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan (lihat kembali pembahasan Orang-Orang yang Tidak Diwajibkan Berpuasa).
Qadla’ puasa Ramadlan tidak harus dilakukan seketika.  Kewajiban mengqadla’ ini bersifat fleksibel dan penuh keluasan.  Aisyah radliyallaahu ‘anhaa menceritakan tentang qadla’ puasanya :

كان يكون علي الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان الشغل من رسول الله صلى الله عليه وسلم
Aku mempunyai hutang puasa Ramadlan, lalu aku tidak bisa mengqadla’-nya kecuali di bulan Sya’ban karena ada kesibukan dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” (HR. Muslim no. 1146).
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani berkata dalam Fathul-Baari (4/212) : [وفي الحديث دلالة على جواز تأخير قضاء رمضان مطلقا سواء كان لعذر أو لغير عذر] “Hadits ini merupakan petunjuk dibolehkannya menunda qadla’ Ramadlan secara mutlak, baik karena alasan atau karena tidak ada alasan”.
Namun, menyegerakan qadla’ puasa adalah lebih utama daripada menundanya, karena hal ini tercakup dalam keumuman dalil yang menunjukkan anjuran untuk segera mengerjakan amal kebaikan dan tidak menunda-nunda, seperti firman Allah ta’ala :
وَسَارِعُوَاْ إِلَىَ مَغْفِرَةٍ مّن رّبّكُمْ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu” (QS. Ali Imran : 133).
2.       Tidak wajib mengqadla’ puasa secara berurutan.
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma telah menjelaskan :
لا بأس أن يفرق
Tidak apa-apa (mengqadla’ puasa) secara terpisah” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dan disambungkan sanadnya oleh Abdurrazzaq, Ad-Daruquthni, dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Shahih Bukhari 1/569). 
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi (4/259) dan Ad-Daruquthni (2/191-192) yang artinya : “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadlan, hendaklah ia mengerjakannya secara berurutan dan tidak putus-putus”; adalah hadits dla’if.  Lihat perincian kedla’ifannya dalam kitab Irwaa’ul-Ghaliil (no. 943) karya Syaikh Al-Albani rahimahullah.
3.       Para ulama’ sepakat bahwa orang yang meninggal dunia, sedangkan dia memiliki tanggungan kewajiban puasa, maka walinya atau yang lainnya tidak wajib mengqadla’-nya.  Demikian juga orang yang tidak mampu berpuasa, tidak boleh ada seseorang yang menggantikan puasanya semasa hidupnya.  Akan tetapi ia memberi makan satu orang miskin setiap hari sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu
Dari Umrah bahwa ibunya meninggal dunia dan ia punya tanggungan puasa Ramadlan.  Ia berkata kepada ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Apakah aku harus membayar puasanya?”.  Aisyah menjawab,”Tidak, tetapi keluarkanlah sedekah sebagai ganti dari puasanya itu, yaitu setiap satu hari diganti dengan memberikan setengah sha’ kepada orang miskin” (Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam kitab Musykiilul-Aatsaar 3/142 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/4 dengan sanad shahih).
Akan tetapi bagi orang yang meninggal dunia, sedangkan ia mempunyai puasa nadzar yang belum ia tunaikan, maka walinya boleh berpuasa untuknya.  Hal ini sesuai dengan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
من مات وعليه صيام صام عنه وليه
Barangsiapa yang meninggal dunia, sedangkan dia mempunyai tanggungan puasa (nadzar), maka hendaklah walinya berpuasa untuknya” (HR. Bukhari no. 18451 dan Muslim no. 1147).
أن سعد بن عبادة الأنصاري استفتى النبي صلى الله عليه وسلم في نذر كان على أمه فتوفيت قبل أن تقضيه فأفتاه أن يقضيه عنها
Bahwasannya Sa’id bin ‘Ubadah radliyallaahu ‘anhu meminta fatwa kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengenai nadzar ibunya yang telah meninggal sebelum melaksanakan nadzarnya tersebut.  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberi fatwa agar Sa’id melaksanakan nadzar tersebut atas nama ibunya” (HR. Bukhari no. 6320).
4.       Barangsiapa yang meninggal dunia, sedangkan ia mempunyai hutang puasa nadzar, maka jika ada beberapa orang yang berpuasa untuknya sesuai dengan jumlah hari yang ia nadzarkan, maka hukumnya boleh.  Al-Hasan berkata:
إن صام عنه ثلاثون رجلا يوما واحدا جاز

Jika ada tiga puluh orang berpuasa untuknya, setiap orang satu hari, maka hukumnya adalah boleh” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan disambungkan sanadnya oleh Ad-Daruquthni dalam kitab Adz-Dzabhi dengan sanad shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Shahih Bukhari 1/570).

No comments: