Translate

Mencari Artikel

FIND(Mencari)

Thursday 27 June 2013

Keragaman

II.4.  Dibolehkannya Keragaman

          Salah satu rahmat dalam Islam adalah dibolehkannya keragaman dalam masalah-masalah fiqih atau furu’iyyah. Sejarah membuktikan bahwa sejak zaman Nabi SAW telah terjadi perbedaan pendapat. Namun karena perbedaan tersebut dilandasi dengan aqidah yang benar, akhlak yang baik dan ukhuwwah yang kuat, perbedaan tersebut tidak membawa kepada permusuhan, sebagaimana yang terjadi pada berbagai kelompok, organisasi dan jama’ah pada masa kini.

Pada masa Nabi SAW pernah terjadi perbedaan pendapat yang berkaitan dengan masalah sholat ‘asar. Dalam haditsnya Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian sholat kecuali di bani Quraizhah”. (HR Bukhari dan HR Muslim). Tapi apa yang terjadi? Ternyata sampai matahari tenggelam, kaum muslimin belum tiba di bani Quraizhah.
Akhirnya terjadi dialog diantara para sahabat. Dimana sebagian mereka melaksanakan sholat ‘asar. Sementara yang lain menangguhkannya hingga tiba di perkampungan bani Quraizhah. Namun setelah mendengarnya Rasulullah SAW ternyata tidak menyalahkan salah satu diantara dua pendapat tersebut. Menanggapi adanya perbedaan para ahli fikih yang menyatakan bahwa sholat di perjalanan lebih utama dari pada sholat di bani Quraizhah sementara yang lain menyatakan sebaliknya, DR. Thaha Jabir berkata, ”Menurut hemat saya selama Rasulullah tidak menyatakan kekeliruan salah satu dari dua kelompok tadi, seharusnya para ahli fikih mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah.”[1]
          Dibolehkannya keragaman tersebut dibuktikan dengan lahirnya madzhab. Yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Bahkan ada yang menyatakan hingga 9 atau 13 madzhab.  Sebenarnya madzhab tersebut merupakan muara dari berbagai pendapat para sahabat dalam memahami ajaran Islam.
          Sekiranya keragaman itu terlarang tentu para penguasa dan para ulama akan melarangnya. Tapi kenyataannya hingga hari ini madzhab tersebut tetap eksis dan hidup hingga detik ini. Meskipun sebagian kecil orang mengharamkan dan membid’ahkannya. Tapi anehnya kelompok ini justru membangun madzhab baru yaitu madzhab laa madzhabiyah (Madzhab tidak mau bermadzhab). Yaitu menjadikan syaikhnya sebagai pengganti imam empat madzhab. Serta men-taqlid-i apa saja yang datang dari syaikhnya. Padahal ke-salaf-annya, ilmu dan ketaqwaannya tidak sebanding dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
          Contoh-contoh keragaman yang terjadi pada masa sahabat antara lain adalah tentang tempat pemakaman Rasulullah. Apakah ditempat beliau wafat atau dimakamkan diluar kamarnya yaitu bersama-sama dengan makam sahabat lainnya. Kemudian tentang pengganti Rasulullah. Apakah Muhajirin atau Anshar. Bahkan dalam hal ini terjadi perdebatan yang seru yang hampir-hampir menimbulkan pertumpahan darah.
          Demikian halnya dalam masalah pembagian tanah wilayah yang ditaklukkan. Abu Bakar berpendapat tanah tersebut dibagi-bagikan kepada seluruh pasukan yang ikut perang. Sementara Umar berpendapat bahwa tanah itu harus diwakafkan untuk kepentingan bersama.
          Dalam memberikan bantuan kepada kaum dhu’afa. Abu Bakar menghendaki dibagi secara rata. Sementara Umar menghendaki dibagi secara proporsional sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.
          Dalam hal memerangi orang yang tidak mau berzakat. Abu Bakar berpendapat agar mereka diperangi sementara Umar pada mulanya menyatakan tidak perlu diperangi karena mereka telah mengucapkan dua kalimat syahadat.
          Menurut Imam Ibnul Qayyim ada 100 masalah yang menjadi perbedaan pendapat  antara Umar dan Abdullah Ibnu Mas’ud.[2] Dan masih banyak lagi perbedaan pendapat yang terjadi diantara para sahabat dalam masalah fiqih.[3] Namun ternyata hal tersebut tidak menimbulkan keretakan hati dan hilangnya ukhuwwah Islamiyyah.




[1]Etika Berbeda Pendapat, hal. 39.
[2]Etika berbeda Pendapat, hal. 74.
[3]Lebih lanjut baca buku Fiqhul Ikhtilah, Etika Berbeda Pendapat Dalam Islam dan buku-buku tentang  Kitab-Kitab Fiqih 4 Madzhab

No comments: