Translate

Mencari Artikel

FIND(Mencari)

Sunday 26 May 2013

Tak Lama Lagi Bulan Suci Ramadhan

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. Yaitu dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa ada diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka ( wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) wajib membayar fidyah kepada seorang yang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahuinya”.
(Al Baqarah ayat 183-184)

Tak lama kita memasuki bulan Ramadhan. Seperti biasa, kaum muslimin mulai menekuni kembali syarat dan rukun dalam menjalankan ibadah shaum. Tak lupa juga mulai membuka kembali kitab-kitab fiqih yang berkenaan dengan masakah shaum. Karena itu, tak ada salahnya dalam kesempatan ini kita perlu mengkaji ayat-ayat shaum dengan pendekatan ilmu hukum. Sebab ternyata setelah penulis amati secara seksama terdapat prinsip-prinsip umum yang sama antara ilmu hukum dan ilmu fiqih. Bahkan menurut penulis perbedaannya biasanya menyangkut masalah teknis aplikatif , sangsi, dan peristilahannya. Namun secara pokok, jika kita bicara masalah subjek hukum, objek hukum, hubungan hukum, isi kaedah hukum, maupun penyimpangan kaedah hukum nampaknya terdapat banyak kesamaan. Contohnya adalah ayat 183-185 surat Al Baqarah yang berbicara mengenai kewajiban menjalankan shaum di bulan Ramadhan yang kali ini menjadi kajian kita bersama.
Subjek Hukum Puasa Ramadhan
            Surat Al Baqarah ayat 183 dimulai dengan kata-kata Yaa Ayyuhalladziina aamanuu yang artinya hai orang-orang beriman. Yang secara jelas berbicara tentang subjek hukum yang dibebani hak dan kewajiban untuk menjalankan ibadah shaum. Yaitu orang mukmin.
            Lalu siapakah mukmin itu ? Untuk jelasnya dapat kita baca pada hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim yang berbicara mengenai tiga pokok ajaran Islam yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Menurut hadits tersebut yang dimaksud dengan mukmin adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, RasulNya, KitabNya, hari akhir dan takdir yang baik maupun yang buruk.
            Lalu bagaimana dengan orang non-muslim yang menjalankan shaum, apakah amalnya diterima ?. Jika kita ukur dengan syarat-syarat rukun iman tersebut maka jelas bahwa mereka itu tidak termasuk orang mukmin. Karena mereka menyekutukan Allah, tidak mengikuti Rasulullah dan tidak menjadikan  KitabNya (Qur’an) sebagai pedoman hidupnya. Jadi mereka tidak termasuk subjek hukum. Yang konsekuensinya juga jelas yaitu tidak berhak mendapatkan pahala dari Allah Swt, meskipun mereka berpuasa penuh di bulan Ramadhan. Bahkan meskipun mereka berpuasa hingga kurus kerontang.
            Jika kita ibaratkan pegawai PT X, maka orang non-muslim tersebut (sebut saja Clinton) adalah seperti orang yang tiap hari membersihkan gedung PT X, namun dia tidak memiliki hubungan kerja, baik tertuang dalam surat perjanjian kerja maupun dengan adanya akad yang ditandai dengan adanya kata sepakat oleh kedua belah pihak. Maka ketika tiba saatnya gajian, tidak ada kewajiban bagi PT X untuk membayar gajinya Clinton. Dan Clinton juga tidak memiliki hak untuk minta gaji kepada PT X. Alangkah malangnya nasib Clinton.
Isi Kaedah Hukum, Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf
            Isi kaedah hukum terdiri dari dua hal yaitu fakultatif yang berupa perbolehan dan imperatif yang berupa perintah dan larangan. Dalam kaitan dengan ayat 183 surat Albaqarah maka berisi perintah yaitu dengan adanya kata-kata kutiba’alaikumush shiyaam yang berarti diwajibkan atas kamu berpuasa. Karena hukum dasarnya wajib maka setiap orang mukmin wajib berpuasa kecuali ditentukan lain. Misalnya anak kecil, orang yang sedang sakit, orang gila, orang yang sedang safar atau ibu-ibu yang sedang mengandung atau menyusui. Dalam konteks hukum maka mereka itulah orang-orang yang diberikan alasan pembenar dan alasan pemaaf.
            Dalam pandangan penulis mereka yang diberikan alasan pembenar untuk tidak menjalankan puasa Ramadhan adalah orang-orang yang secara jelas dan tegas disebut oleh Alqur’an untuk tidak berpuasa dengan syarat harus menggantinya di bulan lain.Mereka itu adalah yang disebut dalam ayat 184 dan 185  surat Albaqarah yaitu orang-orang yang sakit (mariidhan) dan orang yang sedang safar (bepergian ke luar kota).
            Sedangkan yang diberikan alasan pemaaf adalah orang-orang yang hanya disebut pada ayat 184s dengan kata-kata Alladziina yuthiiquunahu (orang-orang yang merasa berat) untuk menjalankan shaum ramadhan. Misalnya orang yang bekerja sangat keras dan  ibu-ibu yang sedang hamil atau menyusui. Namun tetap dengan syarat harus membayar fidyah yaitu memberikan makan kepada minimal satu orang fakir miskin setiap hari dimana dia meninggalkan puasa tersebut. Bahkan ahli fiqih lainnya mensyaratkan pula untuk membayar puasa yang ditinggalkannya tersebut pada hari-hari yang lain.
            Namun pada kalimat selanjutnya ayat tersebut menyatakan bahwa bagi barang siapa yang memberi makan kepada lebih dari satu orang miskin maka itu lebih baik. Dan lebih baik lagi jika mereka berpuasa, jika mereka mengetahui. Sebab menurut Allah puasa tersebut bukan untuk mempersulit kita, tapi justru mempermudah kehidupan, menambah iman, memperbanyak pahala, memperkuat dan menyehatkan badan.
Objek Hukumnya
            Secara tegas ayat 183 surat Albaqarah menyebutkan objek hukumnya yaitu shaum. Yang secara leksikal berarti menahan. Tapi apakah setiap orang yang menahan diri dinyatakan berpuasa ?. Apakah ketika kita menahan diri dari makan dan minum, tapi tetap melakukan hubungan suami istri di tengah siang bolong memenuhi syarat untuk dikatakan telah menjalankan ibadah shaum. Tentu saja tidak. Karena itu kita perlu mengacu kepada pengertian syar’inya. Yang mengartikan shaum sebagai perbuatan menahan diri dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkannya mulai dari fajar hingga maghrib.
            Yang dimaksud dengan hal-hal yang membatalkan puasa tersebut antara lain adalah melakukan hubungan suami-istri di siang hari, makan dan minum dengan sengaja di siang hari, muntah dengan sengaja, haidh dan nifas, mengeluarkan sperma, menelan bahan bukan makanan serta meniatkan berbuka . (Sayyid Sabiq : Fiqih Sunnah Jilid III. Dalam hukum pengertian substansial atau pengertian secara syar’i itulah yang dipegang. Bukan pengertian secara tekstual atau menurut kamus.
Tujuan Hukum Berpuasa
            Dalam hukum positif hukum memiliki tujuan antara untuk terciptanya ketertiban, keadilan dan kebahagiaan  (Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH:Mengenal Hukum Suatu Pengantar). Sedangkan ujung ayat 183 surat Al Baqarah menyatakan bahwa tujuan dari hukum wajibnya puasa adalah untuk menciptakan manusia yang bertakwa. Lalu dimana letak hubungannya.
            Untuk dapat melihat hubungannya maka kita perlu membaca ayat 8 surat Al Maidah yang menyatakan bahwa “berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa” (I’diluu huwa aqrabu lit taqwa). Jadi menurut ayat itu adil adalah merupakan prasyarat ketakwaan. Bahkan secara jelas dinyatakan bahwa adil itu baru dekat kepada takwa, jadi belum sama dan sebangun dengan takwa. Karena masih banyak prasyarat-prasyarat lainnya untuk menyebut seseorang itu telah bertakwa atau tidak. Diantaranya adalah sebagaimana disebut dalam ayat 177 surat Al Baqarah menyebutkan tentang ciri-ciri orang yang bertakwa yaitu beriman kepada rukun Iman yang enam, memberikan harta yang dicintainya kepada saudara dekatnya, yatim, miskin dan orang yang dalam perjalanan, orang yang meminta-minta dan budak. Serta menegakkan shalat, membayar zakat dan sabar dalam menghadapi peperangan, kesulitan dan penderitaan.
            Yang kesemuanya itu menurut DR. Nashir Bin Sulaiman Al ‘Umru dalam bukunya “Menuju Hidup Bahagia” dinyatakan sebagai sebab-sebab yang mendatangkan kebahagiaan sekaligus merupakan sifat dasar orang-orang yang bahagia. Sehingga beliau menyatakan itulah sebenarnya hakekat kebahagiaan. Sedangkan hal-hal yang lain seperti, harta, tahta dan wanita hanyalah fatamorgana yang kadang – kadang justru membawa bencana, kecuali bagi orang-orang yang bertakwa.
            Dengan demikian jelas bahwa ketakwaan bukan hanya akan membawa keadilan, ketertiban dan kebahagiaan. Lebih dari itu akan membawa kita kepada maqam (kedudukan) yang tinggi yaitu maqamnya para Nabi, Rasul, Sahabat dan thabi’in. Hal itu berarti pula bahwa penegakkan hukum (Law Enforcement) pada dasarnya berbanding lurus dengan ketakwaan. Semakin bertakwa suatu masyarakat maka semakin taat mereka kepada hukum. Dan semakin tidak bertakwa suatu masyarakat maka semakin banyak mereka melanggar hukum. Sehingga dengan melihat realitas penegakkan hukum yang terjadi di negeri ini, maka dapat disimpulkan pula bahwa masih banyak saudara kita yang belum bertakwa dengan sebenar-benar takwa (haqqa tuqaatihi). Masalahnya sekarang adalah bagaimana caranya agar Ramadhan kali ini betul-betul dapat mencelup (sibghah) muslim Indonesia menjadi manusia-manusia baru yang suci, putih bersih dan selalu rindu serta mencintai jalan ketakwaan ???. Wallahu ‘alam




No comments: