Translate

Mencari Artikel

FIND(Mencari)

Sunday 19 May 2013

Tafsir Ayat Kursi



Tafsir Ayat Kursi

Imam Al Qurthubi berkata :
هذه آية الكرسي سيدة آى القرآن وأعظم آية ونزلت ليلا ودعا النبي صلى الله عليه وسلم زيدا فكتبها[1]
          Ayat ini disebut dengan ayat kursi. Yaitu penghulu ayat-ayat Alqur’an dan yang terbesar di dalamnya. Ayat ini turun pada malam hari, lalu Rasulullah SAW memanggil Zaid untuk menuliskannya.”
          يا رسول الله أيما أنزل عليك أعظم؟ قال: "آية الكرسي: { اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ } " ورواه النسائي[2]
          Wahai Rasululah (tanya Abu Dzar), ”Ayat apakah yang terbesar yang diturunkan kepadamu?” Beliau menjawab, ”Ayat kursi (Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyum).” [3]
          Dalam ayat kursi disebutkan bahwa Allah Maha Tinggi. Ia adalah merupakan puncak masalah ke-Tuhan-an dimana cahaya-cahaya sifat yang tinggi terbit pada permukaannya.
          Di dalamnya terhimpun sfat-sifat uluhiyah, wahdaniyah, al hayah, al ilmu, al mulku, al qudratu, al iradatu dan mencakup delapan belas tempat yang didalamnya disebut nama Allah. Ayat ini juga menyebutkan bahwa Allah Maha Esa dalam ke-Tuhanan-Nya, pencipta segala sesuatu selain-Nya, Dia Maha Suci dan terlepas dari perubahan.[4]
          Ayat ini mengandung kaidah-kaidah gambaran keimanan, menyebutkan dan menegaskan wahdaniyah (Maha Tunggal) yang merupakan sifat Allah secara jelas. Ia adalah ayat yang mulia dan luas petunjuknya. Demi penjelasan sifat-sifat Allah yang sempurna maka Islam datang untuk menjelaskannya, dimana setiap sifat menjadi prinsip yang diatasnya berdiri gambaran Islam yang murni.[5]
          Sedangkan Imam Thabari berkata bahwa maksud ”Laa Ilaaha Illaa Huwa” adalah tidak ada sesuatu yang disembah selain Allah yang Maha Hidup. Allah adalah bagi-Nya ibadah diciptakan. Al Hayyul Qayyum artinya tidak ada tuhan yang menyamai-Nya, tidak ada yang disembah selain-Nya. Dan tidak ada yang disembah kecuali yang Maha Hidup dan Yang Maha Berdiri (mengurus makhluk-Nya) Yang tidak ngantuk dan tidak tidur.[6]
          Imam Ibnu Katsir berkata, ini adalah ayat kursi yang didalamnya terdapat urusan yang besar.  Dalam hadits shahih dikatakan bahwa ia adalah ayat yang paling utama dalam Alqur’an. Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa Rasululah SAW bertanya kepada Ubay bin Ka’ab, ” Apakah ayat yang teragung dalam kitab Allah?” Dia menjawab Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Maka ketika ditanya berulang-ulang ia menjawab,” ayat kursi.” Nabi berkata, ”Selamat atas ilmumu ya Abu Mundir, demi jiwaku yang berada di tangan-Nya ayat ini berlidah dan dua bibir yang selalu mengagungkan Allah dibawah arsy. (HR Muslim).[7]
          Sedangkan Imam Jalalain (Jalaluddin As Suyuthi dan Jalaluddin Al Mahalli) berkata bahwa ”Allahu Laa Ilaaha” adalah tidak ada yang disembah dengan haq dalam alam wujud ini kecuali  ”Dia yang Maha Hidup” artinya kekal lagi abadi. ”Al Qayyum” yang senantiasa berdiri terus menerus mengurus makhluk-Nya. ”Tidak mengantuk” atau terlena. ”Dan tidak pula tidur”, milik-Nyalah segala yang ada di langit dan di bumi sebagai kepunyaan, ciptaan dan hamba-Nya. ”Siapa yang dapat” maksudnya tidak ada yang dapat.
 ”Memberi syafaat disisi-Nya kecuali dengan izin-Nya”  baginya didalam-Nya ”Dia mengetahui segala yang ada  dihadapan mereka” maksudnya dihadapan makhuk. ”Dan segala apa yang ada dibelakang mereka” maksudnya segala urusan dunia dan akherat.  Sedangkan mereka tidak mengetahui suatupun dari ilmu-Nya” artinya mereka tidak mengetahui sesuatupun urusan Allah ”melainkan yang Dia kehendaki untuk diketahui” melalui pemberitaan oleh para Rasul. ”Kursinya meliputi langit dan bumi” ada yang mengatakan maksudnya adalah ilmu-Nya, ada juga yang menyatakan maksudnya adalah kekuasaan-Nya dan ada pula kursi itu sendiri yang mencakup langit dan bumi karena kebesarannya berdasarkan sebuah hadits ”Tidaklah langit yang tujuh lapis itu kecuali seperti tujuh buah uang dirham yang dicampkakan ke dalam sebuah bejana besar. ”Dan tidaklah berat bagi-Nya memelihara keduanya” artinya memelihara langit dan bumi. ”dan Dia Maha Tinggi” sehingga menguasai semua makhluk-Nya lagi Maha Besar.[8]
Para ulama berbeda pendapat tentang makna kursi. Namun pendapat yang kuat menyatakan bahwa kursi adalah suatu benda yang ada dihadapan arsy, lebih besar dari tujuh langit dan tujuh bumi, namun lebih kecil dari arsy.[9]
Ibnu Abbas berkata, ”Sesungguhnya langit yang tujuh (bila dibandingkan dengan) Kursi, laksana tujuh keping dirham yang diletakkan disebuah perisai.” [10]
Rasulullah bersabda, ”Wahai Abu Dzar, tidaklah (ukuran) langit yang tujuh dan bumi yang tujuh dibandingkan Kursi, melainkan laksana sebuah lingkaran yang dilemparkan ditengah-tengah padang pasir.”(HR Baihaqi dan tafsir Thabari).[11]
          Sayyid Qutb menyatakan dari gambaran di atas muncul keyakinan bahwa kaidah kebijaksanaan hanyalah milik Allah SWT. Dengan demikian hanya Allah-lah yang berhak membuat peraturan bagi hamba-Nya. Atau dengan kata lain peraturan yang dibuat manusia haruslah bersumber dari syariat Allah.
          Dari gambaran tersebut juga muncul keyakinan bahwa kaidah pengambilan nilai-nilai seluruhnya dari Allah.  Tidak ada pelajaran bagi nilai-nilai kehidupan apabila tidak diterima oleh neraca Allah SWT.[12]
          Hanya Allah tabaraka wa ta’ala  yang memiliki kehidupan azali dan abadi, yang tidak dimulai dari sebuah tempat memulai, dan tidak berakhir pada sebuah akhir, karena itu terlepas dari makna waktu yang menyertai kehidupan makhluk yang memiliki permulaan dan akhir, karena Allah-lah pencipta waktu itu sendiri.
          Alah SWT bersifat Qayyum yang selalu mengawasi segala sesuatu yang ada, termasuk setiap jiwa dengan apa yang dilakukannya. Allah adalah saksi atas segala sesuatu. Tidak ada yang gaib dari-Nya. Sebagai bukti kesempurnan dan kesinambungan atas makhulk-Nya bahwa Dia tidak mengalami kekurangan, kelupaan dan kebingungan akan makhluknya. Dia tidak mengalami ngantuk yang menyerang mata dan tidur yang dapat menyelimuti hati. Tidak ada sesuatupun yang dapat berdiri kecuali dengan bersandar kepada wujud dan pengaturan-Nya.
          Ditegaskan dalam hadits shahih dari Abu Musa yang berkata, ”Rasulullah menyampaikan empat kalimat kepada kami, bahwa Allah tidak tidur, dan tidak sepantasnya Ia tidur, Dialah yang merendahkan timbangan (amalan) dan meninggikannya, kepada-Nya diangkat amalan malam dan siang hari sebelum amalam malam, dan amalan malam sebelum amalan siang, hijab-Nya adalah cahaya atau api, jika Dia membukanya maka keagungan dan kemuliaan wajah (cahaya dan kebesaran-Nya) akan membakar seluruh apa yang dipandang-Nya dari makhluk-Nya (dunia dan seluruh isiny).[13]
          Dari gambaran tentang ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, maka muncul berbagai pemahaman bahwa hanya Allah Yang Maha Esa, yang hidup kekal, yang satu-satunya Tuhan yang memiliki sifat Qayyum, satu-satunya raja yang memiliki kerajaan yang menyeluruh secara mutlak. Maka kepemilikan Allah adalah milkiyah tamalluk (hak memiliki).
          Sedangkan kepemilikan manusia adalah milkiyah intifa’ (hak pemanfaatan) sebagai wakil (khalifah) dari satu Raja. Dari sana mereka wajib patuh dalam kekhilafahannya terhadap syarat-syarat yang ditentukan Sang Raja, yang telah dijelaskan dalam syariat-Nya. Jika tidak, kepemilikannya batal dan tindakan merekapun menjadi batal.
          Meyakini gambaran ini secara jelas akan memberikan kepuasan dengan keridhaan, tenggang rasa dan kebaikan di dalam jiwa serta membersihkannya dari keserakahan, ketamakan dan keburukan. Lebih dari itu, Allah akan melimpahkan ketenangan dan keteguhan pada perasaan dan hati hingga jiwa tidak merasa sedih atas segala sesuatu yang berlalu atau hilang, dan hati tidak bergerak untuk selalu berusaha meraih apa yang diinginkan.[14]
          Barangsiapa yang memperhatikan ayat ini dan sejenisnya yang datang dari ilmu Allah dan keagungan-Nya, serta kekuasaan mutlak-Nya terutama pada hari kiamat, maka keagungan Allah tidak akan membiarkan jiwanya terpedaya, bahkan meyakinkan tidak ada kebahagiaan di akherat kecuali dengan keridhaan-Nya di dunia. Barangsiapa yang tidak diridai Allah, maka tidak seorangpun yang berani meminta syafaat kepada-Nya. Allah SWT akan memberikan keselamatan sesuai dengan janji-Nya bagi orang yang melakukan amal shalih, sedang dia adalah seorang muslim.[15]
          Selanjutnya Sayyid Qutb menyatakan bahwa banyak rahasia yang belum diketahui dan masih tersembunyi hingga masa-masa yang akan datang. Meskipun demikian, sebagian rahasia bumi akan ditampakkan, rahasia yang besarnya bagaikan sebiji atom di cakrawala alam yang sangat luas ini. Dengan ilmunya yang sedikit manusia akan menganggap dirinya sebagai Tuhan di bumi. Lalu dia kufur dan mengingkari bahwa alam ini memiliki Tuhan.
          Dalam penutup sifat-sifat Allah, ayat tersebut menjelaskan bahwa hanya Allah-lah yang memiliki ketinggian dan keagungan. Setinggi dan seagung apapun manusia, dia tidak akan mampu melampaui maqam ubudiyah  kepada Allah Yang Maha Agung.
          Dari sini manusia akan menyadari kesombongan dan kezalimannya hingga ia kembali kepada ketakutan terhadap Allah dan kewibawaan-Nya, kembali kepada perasaan akan kemuliaan dan kebesaran-Nya, kembali kepada adab yang menjadi hak Allah dan kembali kepada ketaatan dan konsistensi akhlaknya terhadap manhaj Allah. Ini semua dalam bentuk keyakinan, gambaran, amal dan tingkah laku.[16]
          Inilah sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat yang mulia ini, dimana seekor burung tidak dapat melayang-layang di atas padang pasirnya dan manusia tidak dapat mengatakan selain, ”Maha benar Allah Yang Maha Agung.”[17]
          Ibnu Abbas berkata, ”Pada kalimat ”Allahu Laa Ilaaha Illaa huwa” maksudnya adalah tidak ada sekutu bagi-Nya. Setiap yang disembah selain Dia adalah makhluk ciptaan-Nya. Mereka tidak dapat memberikan mudharat dan manfaat. Dan mereka tidak memiliki rejeki dankehidupan.
          Al Hayyu maksudnya yang tidak mati.
Al Qayyum maksudnya tidak rusak, tidak lusuh dan tidak usang.
Laa ta’khudzuhu sinatun maksudnya tidak kantuk. Wa laa naum maksudnya tidak tidur.
Man dzalladzii yasfa’u ’indahu illaa biidznih, maksudnya malaikat seperti firman Allah SWT, ”Walaa yasyfa’unaa illaa limanirtadha.”[18]
Ya’lamu maa baina aidihim maksudnya dari langit ke bumi.
Wa maa khalfahum maksudnya apa yang ada di langit.
Walaa yuhiithuuna bi syai’in min ’ilmihi illaa bimaa syaa’ maksudnya dari apa yang mereka ketahui dari ilmunya.
Wasi’a kursiyyuhusamawaati wal ardhi masudnya ayat yang lebih besar dari langit yang tujuh dan bumi yang tujuh.
Walaa ya’uudhuhu hifzhuhumaa maksudnya tidak ada sesuatupun yang ada di langit dan bumi yang luput dari-Nya.
Wa huwal ’aliyyul ’azhiim maksudnya tidak ada yang lebih tinggi, lebih besar, lebih agung dan lebih mulia dari-Nya.[19]


[1]Tafsir Al Qurthubi 3/268.
[2]Tafsir Ibnu Katsir  1/673
[3]HR Ahmad dan Nasaai cuplian dari sebuah hadits yang panjang tentang dialog anara Rasulullah SAW dan Abu Dzar RA
[4]Jalaluddin As Suyuthi, Dahsyatnya Ayat Kursi, Gema Insani Press (Jakarta:2007), hal. 15-16.
[5]Ibid.
[6]Tafsir At Thabari 5/386.
[7]Tafsir Ibnu Katsir  1/672
[8]Tafsir Jalalin 1/261.
[9]Ahmad Asy Syarqawi, DR, Aqwam Jembatan Ilmu (Solo:2008), hal. 70.
[10]Ibid hal. 71.
[11]Ibid hal. 70.
[12]Dahsyatnya Ayat-Ayat Kursi hal. 18.
[13]Ibid hal. 20-21.
[14]Ibid hal. 22
[15]Ibid hal. 23-24.
[16]Ibid hal. 25-26.
[17]Ibid hal. 26 dari Imam Al-Alusi.
[18]Dan tidaklah mereka dapat memberikan syafat kecuali bagi orang yang diridhai Allah SWT
[19]Ibid hal. 86.87

No comments: