Translate

Mencari Artikel

FIND(Mencari)

Wednesday 29 May 2013

Menggabung Beberapa Hadits Yang Semakna

Langkah selanjutnya dalam memahami hadits adalah dengan menjamak atau menggabung beberapa hadits yang berbicara tentang masalah yang sama.
Buang Hajat Ke Arah Kiblat
Contohnya ada seorang yang ditegur oleh temannya karena buang air kecil dalam bangunan menghadap ke barat/kiblat. Hal ini terjadi karena yang menegur ingin menerapkan sunnah nabi.
Tapi karena hanya membaca  hadits dibawah ini dan tidak menggabungkan dengan beberapa hadits yang semakna akibatnya teguran tersebut justru menimbulkan hal yang kurang baik.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِل الْقِبْلَةَ وَلَا يُوَلِّهَا
Berkata Rasulullah SAW: “Apabila salah seorang diantara kamu mendatangi buang air besar, maka janganlah menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya.” (HR Bukhari dari Abu Ayyub Al Anshari RA).
Kalau hadits ini saja yang kita baca tentu kita akan dapat kesimpulan larangan untuk buang hajat menghadap barat atau membelakanginya. .
Coba kalau kita mau bersabar sebentar untuk tidak mudah berfatwa sampai kita membaca secara tuntas hadits-hadits tersebut atau pendapat para ahlinya tentu akan lebih baik hasilnya dalam berdakwah.
لَقَدْ ظَهَرْتُ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى ظَهْرِ بَيْتِنَا فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدًا عَلَى لَبِنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ
Dari Abdullah bin Umar RA: “Sungguh aku telah naik ke rumah kami dan aku melihat Rasulullah SAW duduk di atas dua batu bata (untuk buang hajat) menghadap ke baitul maqdis.” (HR Bukhari)
Berdasarkan dua hadits tersebut dan hadits-hadits lainnya yang semakna para ulama memberikan beberapa kesimpulan.
Yang pertama memberikan larangan secara mutlak baik di tempat terbuka maupun tertutup.
Yang kedua membolehkan secara mutlak buang hajat menghadap/membelakangi kiblat.
Yang ketiga dilarang buang hajat menghadap/membelakangi kiblat apabila di tempat terbuka namun tidak masalah jika buang hajat di tempat tertutup.
Pendapat terakhir itulah pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Yaitu tidak adanya larangan buang hajat menghadap/membelakangi kiblat di tempat yang tertutup.
Kain dibawah mata kaki
وعنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار رواه البخاري.
Dan darinya (Abu Hurairah RA) bahwa nabi SAW berkata : Apa-apa dibawah mata kaki dari kain tempatnya di neraka   ( HR Bukhari).

Kalau kita baca hadits itu saja akan berkesimpulan bahwa mayoritas kaum muslimin di dunia ini akan masuk neraka.  Yaitu bagian kakinya dibawah mata kaki yang tertutup kain.
وعن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا ينظر الله يوم القيامة إلى من جر إزاره بطراً متفق عليه.

Dan dari Abu Hurairah RA bahwasanya nabi SAW berkata : Allah tidak akan melihat pada hari kiamat  kepada orang yang  memanjangkan kainnya dengan SOMBONG (Muttafaqun ‘alaihi / HR Bukhari-Muslim).
Kalau kita berhenti pada kata-kata “Man jarra izaarahu” (barang siapa memanjangkan kainnya), maka kita akan dapat kesimpulan bahwa orang ini dibenci Allah SWT.
وعن ابن عمر رضي الله عنهما، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الإسبال في الإزار، والقميص، والعمامة؛ من جر شيئاً خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة
Dan dari Ibnu Umar RA bahwasanya nabi SAW berkata : Isbal adalah pada kain, baju dan surban (imamah), barang siapa memanjangkan sesuatu dengan SOMBONG Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat (HR  Abu Dawud dan  Nasa’i, isnadnya shahih)


Dan masih banyak lagi hadits yang serupa, namun dalam buletin ini tentu tidak cukup untuk menampilkan semuanya.
Untuk itu mari kita perhatikan secara seksama bunyi hadits tersebut secara tuntas. Maka kita akan dapat kesimpulan bahwa yang dilarang adalah jika perbuatan tersebut disertai ke-SOMBONG-an. Jadi hukum hadits-hadits tersebut diikat (muqayyad) oleh kata-kata KHUYALAA’ atau BATHARAN yang artinya SOMBONG.
Kesimpulan ini akan semakin jelas ketika kita membaca hadits yang berkaitan dengan Abu Bakar RA berikut ini.
وعن ابن عمر رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة فقال أبو بكر: يا رسول الله إن إزاري يسترخي إلا أن أتعاهده، فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنك لست ممن يفعله خيلاء. رواه البخاري، وروى مسلم
Dan dari Ibnu Umar RA bahwasanya nabi SAW berkata : “Barang siapa  memanjangkan pakaiannya dengan SOMBONG, Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat,” maka berkata Abu Bakar : “Wahai Rasulullah sesungguhnya kainku selalu melorot jika aku tidak memeganginya,”                    maka  Rasulullah SAW berkata “Sesungguhnya engkau bukan dari orang yang melakukan kesombongan.” (HR Bukhari-Muslim).

Dengan menggabungkan hadits-hadits tersebut maka menjadi jelaslah bahwa yang dilarang adalah memanjangkan kain karena disertai kesombongan. Namun jika tidak disertai kesombongan  hukumnya  makruh.
إِسْبَاله تَحْت الْكَعْبَيْنِ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه
Pernyataan Imam Nawawi dalam syarah shahih muslim : Isbal dibawah mata kaki jika dibarengi dengan kesombongan maka haram, jika tidak dengan kesombongan hukumnya makruh

وَقَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ : إنَّ جَرَّهُ لِغَيْرِ الْخُيَلَاءِ مَذْمُومٌ وَقَالَ النَّوَوِيُّ : إنَّهُ مَكْرُوهٌ وَهَذَا نَصُّ الشَّافِعِيِّ

Berkata Ibnu Abdil Barr : Sesungguhnya memanjangkan kain dengan tanpa SOMBONG tercela , berkata Imam Nawawi sesungguhnya makruh dan ini nash dari Imam Syafi’i.

Namun demikian sebagian besar ulama di Mesir maupun di Indonesia menyatakan hal ini hanyalah masalah tahsinat yaitu untuk kebaikan dalam penampilan agar nampak lebih sederhana. Atau hanya masalah adab dalam berpakaian.
Hal ini akan lebih jelas jika kita membaca kitab-kitab fiqih pada bab thaharah dan sholat. Sebab pada zaman itu pakaian termasuk barang yang langka. Ini bisa dilihat dari hadits-hadits nabi yang menyatakan bahwa para sahabat hanya memiliki beberapa kain. Atau ada yang saling bergantian dengan istrinya untuk menggunakan kain dalam sholatnya.
Ada sahabat yang jarang ganti baju ketika selesai berhubungan dengan istrinya. Sehingga dalam hadits-hadits kita temukan Rasulullah dan juga sahabat yang dibajunya masih menempel mani/sperma kering dsb lalu digosok atau dibasuh dengan air dan kemudian dipakai untuk sholat. Ini menunjukkan bahwa pakaian termasuk barang yang mahal.
Belum lagi dengan sifat masyarakat Arab pada saat itu yang menjadikan panjangnya pakaian sebagai bentuk untuk pamer dan menunjukkan bahwa ia adalah orang yang kaya raya.
Dalam Alqur’an  pakaian laki-laki tidak pernah disinggung secara detil dan rinci sebagaimana halnya jilbab yang diuraikan secara panjang lebar oleh Allah SWT. Mulai dari jilbabnya (baju kurung), khimarnya (kerudung) dan tsiyabnya (pakaian dalamnya).
Sehingga wajar apabila hukum pakaian muslimah  wajib karena Allah SWT mewajibkan secara qath’i ats-tsubut dan qath’i ad-dilalah dalam Alqur’an. (Pasti penetapannya dan pasti penunjukkannya).
Hal serupa dapat kita baca dalam kitab-kitab tafsir. Hadits-hadits tersebut dipakai oleh para mufasirin untuk menjelaskan makna ayat yang berkaitan dengan kesombongan.
Misalnya dalam tafsir Thabari,  Baghawi dan Khazin yang menjadikan hadits-hadits tentang isbal tsb untuk menafsirkan ayat
إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا
“Sesunguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri” (An Nisaa 36).
Sikap Kita
Masalah ini adalah masalah khilafiyah yang telah terjadi berabad-abad lamanya. Untuk itu kita tidak boleh berlebih-lebihan dan juga meremehkan.
Masalah ini bukanlah pokok agama. Karena yang jadi pondasi agama adalah menjauhkan diri dari kesombongan dan bersikap boros.
Kita harus menghormati mereka yang berkeyakinan bahwa itu sebagai sebuah kewajiban agama sebagaimana difatwakan oleh sebagian ulama  semisal Imam Ibnu Hazm dan ulama-ulama Saudi pada umumnya.
Namun kita juga harus menghormati orang yang berkeyakinan bahwa hal itu hanyalah makruh (jika tidak disertai sifat sombong) sebagaimana pendapat para ulama dalam madzhab syafi’i.
Sekaligus juga menghargai pendapat ulama Mesir, Indonesia, dan dunia pada umumnya yang menilai hal ini sebagai bentuk tahsinat. Atau adab dalam berpakaian. Semoga Alah menyatukan hati-hati kita. Wallahu a’lam bish showab. Aamiin. Ibnu AR


No comments: