IV.9. HATI-HATI DALAM MEMVONIS
Beberapa waktu yang lalu
penulis pernah mendengar penceramah yang mudah mengobral kata-kata kafir. Beliau
berkata MUI kafir, pemerintah kafir, partai-partai kafir, bahkan hampir semua
ummat Islam Indonesia
kafir hanya karena permasalahan fatwa wajibnya memilih pemimpin dalam pemilu
2009.
Saya terkesima mendengar pendapat
tersebut. Sambil bergurau saya katakan, “Ustadz
antum beraliran khawarij.” Tapi tak kalah sigap beliau menyatakan, “Antum
murji’ah salafy gendeng.” Padahal saya bukan salafy. Dan sambil bergurau saya
sering katakan kepada orang-orang yang fanatik kepada kelompoknya bahwa saya
adalah RUSULI. Yaitu pengikut 25 nabi dan Rasul. Setelah melalui dialog yang
panjang lebar saya hanya bisa tertawa geli dalam hati. Sebab konsekuensi
penjatuhan fatwa kafir mengandung banyak konsekuensi, diantaranya ia harus
dihukum mati karena murtad, atau diceraikan dengan istrinya, hilangnya
mendapatkan hak waris serta hak-hak lainnya sebagai kaum muslimin.
Da’i-dai semacam itu bukan hanya satu
dua, mungkin bisa mencapai ratusan atau ribuan orang. Masing-masing memiliki
kata-kata yang khas untuk menjuluki orang lain yang berbeda pendapat atau
pemahaman dengan kelompoknya. Padahal mereka hanyalah ustadz atau da’i bahkan
sebagian hanyalah para penuntut ilmu bukan mufti atau hakim sebuah mahkamah
syariat.
Karena itulah penulis teringat
dengan sebuah semboyan, “Nahnu du’at laa qudat.” Kita ini da’i bukan
hakim. Jadi tugas kita hanyalah menyampaikan bukan menghakimi. Tugas da’i
mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan hikmah dan nasehat
yang baik. Yaitu dengan saling menasehati dalam kebenaran (tawashu bil haqq),
dalam kesabaran (bish shobri) dan kasih sayang (bil marhamah).
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ
هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”(An Nahl 16:125).
Hikmah memiliki beberapa makna
diantaranya adalah perkataan yang benar, bijak atau sunnah. Menurut Imam
Thabari maksudnya adalah wahai Muhammad Aku telah mengutusmu kepada umat
manusia untuk menyeru kepada Tuhan yang wajib ditaati. Adapun hikmah maknanya
adalah wahyu Allah yang diturunkan kepadamu. [1]
Dengan demikian hikmah bermakna Alqur’an dan sunnah. Dengan nasehat yang baik
berarti dengan pelajaran yang indah dimana Allah telah menjadikannya sebagai
hujjah kepada mereka dalam kitabNya. Menurut tafsir Jalalain yaitu dengan cara
membaca dan memikirkan tanda-tanda kekusaan Allah baik yang tersurat maupun
yang terlihat di alam semesta ini.
Untuk itulah para da’i atau ustadz
dituntut berdakwah dengan hikmah menggunakan kata-kata yang bijak yang
menyentuh kalbu. Dengan perkataan yang benar (qaulan sadiidan), dengan
ucapan yang ma’ruf (qaulan ma’ruufan), dengan perkataan yang lembut (qaulan
layyiinan), dengan penyampaian yang jelas dan gamblang (qaulan baliighan).
Atau perkataan yang baik (qaulan kariiman) atau ucapan yang layak atau
pantas (qaulan maisuuran) dan perkataan yang berbobot (qaulan
tsaqiilan).
Itulah beberapa cara komunikasi yang
diajarkan Allah SWT. Semoga kita dapat mengamalkannya serta dapat menghindarkan
diri dari ucapan yang kasar, berlebih-lebihan dan mudah memvonis orang lain.
Serta jangan mudah melaknat orang lain. Karena Nabi kita diutus untuk
memberikan rahmat bukan untuk melaknat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَال قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ قَالَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً[2]
Dari Abu Hurairah RA berkata : ada
seseorang yang berkata, “Ya Rasulullah
SAW, do’akanlah bencana bagi orang-orang musyrik.” Beliau menjawab,
“Sesungguhnya aku tidak diutus untuk melaknat tetapi aku diutus untuk
memberikan rahmat.”
Rasulullah adalah rahmat bagi
semesta alam. Bukan tukang laknat dan tukang kutuk seperti sebagian orang atau
da’i yang mengaku mengikuti sunnah Nabi SAW. Padahal mereka adalah orang-orang
musyrik. Lalu bagaimana mungkin ada ulama yang hobinya mengutuk kaum muslimin,
hanya karena berbeda pendapat atau mungkin pendapatan.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.”(Al Anbiyaa’ 21:107).
Puluhan tahun yang lalu, masalah mudah memvonis ini juga dikeluhkan oleh
DR. Fathi Yakan, khususnya dalam msalah bid’ah yang belum tentu bid’ah. Beliau
berkata :
“Dari
waktu ke waktu di negeri-negeri Islam muncul fenomena baru dan tidak lazim.
Barangkali dibalik itu semua ada yang menggerakkannya. Yang menimal bertujuan
memalingkan ummat Islam dari urusan-urusan pokok mereka. Mereka disibukkan
dengan sengketa-sengketa internal yang terus marak, yang akhirnya menyebabkan
lemah, acuh tak acuh dan buta tuli terhadap persekongkolan yang tengah
mencengkeramnya.
Yang menarik, fenomena ganjil ini terkadang kalau tidak
boleh disebut sering dibungkus dengan baju ilmiyah, padahal hakekatnya jauh
dari yang bernama ilmiyah.”[3]
“Salah satu fenomena ganjil ini adalah cara baru dalam
memerangi bid’ah yang ia sendiri ternyata bid’ah. Karena pertikaian, kedengkian
dan kebimbangan yang meluas di kalangan ummat lantaran upaya itu lebih parah
dari bahaya bid’ah, yang katanya akan diperangi itu. Mereka memerangi subhat
tapi jatuh kepada yang haram. Mereka mengingkari kemungkaran tetapi terjerumus
ke dalam kemungkaran yang lebih besar.”[4]
No comments:
Post a Comment