Orang-Orang yang Tidak
Diwajibkan Berpuasa
1.
Musafir
Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan jauh sejauh
jarak (yang dianggap) safar. Jarak safar
menurut madzhab yang paling kuat (rajih) adalah jarak yang dianggap oleh adat
atau masyarakat setempat sebagai safar (Majmu’ Fataawaa, 34/40-50,
19/243). Orang yang melakukan safar
boleh untuk tidak berpuasa sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَمَن
كَانَ مِنكُم مّرِيضاً أَوْ عَلَىَ سَفَرٍ فَعِدّةٌ مّنْ أَيّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia
tinggalkan pada hari-hari lain” (QS. Al-Baqarah : 184).
Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami yang dia adalah orang yang banyak
melakukan puasa, bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
: “Apakah saya berpuasa di waktu safar?”.
Beliau menjawab :
إن
شئت فصم وإن شئت فأفطر
“Puasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau”
(HR. Bukhari no. 1841 dan Muslim no.
1121).
Hadits di atas (dan
beberapa lagi hadits lain) menunjukkan diperbolehkannya tidak berpuasa bagi
orang yang melakukan safar. Dan bagi
yang berkehendak berpuasa, maka puasa tersebut dilakukan bila ia memang mampu
dan diperkirakan tidak membawa mudlarat terhadap dirinya. Pertimbangan inilah yang terdapat dalam
hadits berikut :
ليس
من البر الصوم في السفر
“Berpuasa di dalam
perjalanan bukanlah sebuah kebaikan”
(HR. Bukhari no. 1844 dan
Muslim no. 1115)
فكانوا
يرون أنه من وجد قوة فصام فحسن ومن وجد ضعفا فافطر فحسن
“Dan mereka (para
shahabat) berpendapat bahwa barangsiapa mempunyai kemampuan, maka berpuasa
lebih baik baginya. Dan barangsiapa yang
merasa lemah, maka berbuka lebih baik baginya” (HR. Tirmidzi no. 713 dan
Al-Baghawi no. 1763. At-Tirmidzi berkata : Hadits hasan shahih).
Namun secara umum, safar
membolehkan berbuka walau orang yang melakukannya tidak merasakan berat, karena
hal tersebut merupakan rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh Allah kepada
kaum muslimin. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
إن
الله يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته
“Sungguh Allah menyukai
dilaksanakan rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan
maksiat kepada-Nya” (HR. Ahmad no. 5866 dan Ibnu Hibban no. 2742.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil
3/9 no. 564). Dan keringanan bagi
seorang musafir (salah satunya) adalah berbuka (tidak berpuasa).
2.
Orang yang Sakit
Sakit yang menjadikan dibolehkannya seseorang berbuka
adalah sakit yang jika ia berpuasa dalam keadaan tersebut akan membahayakan
dirinya, menambah sakitnya, atau dikhawatirkan menyebabkan lambatnya
kesembuhan. (Lihat Fathul-Baari
8/179, Syarhul-Umdah Kitab Shiyaam karya Ibnu Taimiyyah
1/208-209, Shifat Shaumin- Nabi hal. 59).
Lihat dalilnya dalam firman Allah ta’ala dalam QS. Al-Baqarah
ayat 185.
3.
Wanita yang Haidl atau Nifas
4.
Orang yang Lanjut Usia dan Wanita
yang Lemah
Allah ta’ala berfirman :
فَمَن
كَانَ مِنكُم مّرِيضاً أَوْ عَلَىَ سَفَرٍ فَعِدّةٌ مّنْ أَيّامٍ أُخَرَ وَعَلَى
الّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia
tinggalkan pada hari-hari lain. Dan
wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar
fidyah yaitu memberi makan seorang miskin” (QS. Al-Baqarah : 184).
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma mengatakan,”Dia
adalah orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa. Maka ia berbuka dan memberi makan kepada
orang miskin setiap hari sebanyak setengah sha’ gandum” (HR. Ad-Daruquthni
dalam Sunan-nya 2/207 dan dishahihkan olehnya).
Jadi, orang yang tidak mampu berpuasa karena usia tua berkewajiban
membayar fidyah untuk orang miskin sebagai ganti hari yang ia tinggalkan. Adapun tentang fidyah, insyaAllah akan
dijelaskan kemudian.
5.
Wanita yang Mengandung dan
Menyusui
Di antara keagungan rahmat Allah ta’ala kepada
hamba-Nya yang lemah adalah pemberian rukhshah (keringanan) untuk berbuka puasa
kepada wanita hamil dan menyusui. Dari
Anas bin Malik : Seorang laki-laki dari Bani Abdillah bin Ka’b radliyallaahu
‘anhu berkata :
أغارت
علينا خيل رسول الله صلى الله عليه وسلم فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم
فوجدته يتغدى فقال ادن فكل فقلت إني صائم فقال ادن أحدثك عن الصوم أو الصيام إن
الله تعالى وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة وعن الحامل أو المرضع الصوم أو
الصيام والله لقد قالهما النبي صلى الله عليه وسلم كلتيهما أو إحداهما فيا لهف
نفسي أن لا أكون طعمت من طعام النبي صلى الله عليه وسلم
Datang kuda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada
kami. Lalu aku mendatangi beliau, dan
ternyata aku mendapatkan beliau sedang makan.
Kemudian beliau bersabda,”Mendekatlah dan makanlah”. Aku menjawab,”Aku sedang puasa”. Beliau bersabda,”Mendekatlah, akan aku
ceritakan kepadamu tentang puasa.
Sesungguhnya Allah ta’ala memberikan keringanan dari setengah shalat
bagi seorang musafir, dan memberikan keringanan dari beban puasa bagi wanita
hamil dan menyusui”. Demi
Allah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam benar-benar telah mengucapkan
keduanya atau salah satunya, dan aku benar-benar berselera untuk makan makanan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” (HR. Tirmidzi no. 715, An-Nasa’i 4/180, Abu Dawud no. 2408, dan
Ibnu Majah no. 1667. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 2/64-65 no. 1361
dan Misykatul-Mashaabih 1/344).
Bagi wanita hamil dan/atau
menyusui, menurut pendapat yang paling kuat (rajih), bagi mereka hanyalah
dibebani membayar fidyah saja tanpa ada kewajiban mengqadla. Hal ini diperkuat oleh atsar para shahabat,
diantaranya adalah perkataan Ibnu ‘Abbas kepada seorang budak wanita yang hamil
atau menyusui :
أنت
بمنزلة الذي لا يطيق ، عليك أن تطعمي مكان كل يوم مسكينا ولا قضاء عليك
“Engkau, kedudukanmu
seperti yang tidak mampu. Kewajibanmu
memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya dan tidak ada kewajiban
qadla atasmu” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dengan sanad yang dikatakan
Syaikh Al-Albani shahih sesuai dengan syarat Muslim – Irwaaul-Ghalil
4/19. Juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq
dalam Al-Mushannaf 4/219 no. 7567 – tapi tanpa kata-kata : tidak ada
kewajiban qadla atasmu).
Juga perkataan Sa’id bin
Jubair bahwa Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum mengatakan kepada budaknya
yang hamil atau menyusui :
أنت
من الذين لا يطيقون الصيام عليك الجزاء وليس عليك القضاء
“Engkau termasuk tidak
mampu, kewajibanmu memberi makan, bukan qadla” (Diriwayatkan oleh
Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2/206 no. 8 dan ia berkata : sanadnya shahih).
Juga perkataan Ibnu ‘Umar
atas pertanyaan seorang wanita hamil :
أفطري
وأطعمي عن كل يوم مسكينا ولا تقضي
“Berbukalah dan berilah
makan satu orang miskin sebagai ganti setiap harinya dan jangan kamu mengqadla”
(Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2/207 no. 14 dan Ibnu Hazm dalam
Al-Muhalla 6/263. Syaikh Al-Albani
mengatakan bahwa sanadnya bagus – Irwaaul-Ghalil
4/20).
No comments:
Post a Comment