HUKUM BERDA’WAH
(RINGKASAN MATERI KAJIAN
ISLAM INTENSIF SELASA, 7 JUNI 2005 oleh
USTADZ HABIBULLAH KOMARUDIN, LC dengan beberapa tambahan dari Penulis)
“Dan siapakah yang
lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah dan beramal
shalih dan dia berkata sesungguhnya aku adalah bagian dari orang-orang Islam” ( 41:33)
Dalam kitab-kitab fiqih
dinyatakan bahwa hukum dakwah adalah fardhu kifayah. Yaitu sebuah
kewajiban bila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya maka yang lain terbebas
dari sebuah dosa.
Pemahaman seperti
itu perlu dikoreksi. Karena
cenderung membuat umat malas. Akhirnya umat hanya menggantungkan pada
sekelompok orang. Sehingga mereka tidak merasa bersalah hanya menjadi muslim
yang pasif.
Bagaimana kalau
dari 200 juta penduduk Indonesia hanya ada 1.000 orang yang berdakwah. Berdasarkan
hukum fiqih 199 juta lainnya terbebas dari dosa. Karena kewajiban tersebut
telah ditunaikan oleh sebagian kaum muslimin. Pemahaman semacam ini tentu saja
akan membuat dakwah menjadi mandul. Karena hanya 1.000 orang yang bergerak. Perbandingannya sangat berat 1.000
dibagi 199 juta atau 0,0005 %. Sangat-sangat-sangat kecil.
Apakah kita tega
melihat sebagian kecil saudara kita jatuh bangun berdakwah, sementara kita
berdiam diri? Apakah kita rela melihat mereka berdakwah membimbing ratusan ribu
umat sementara kita berpangku tangan?
Yang lebih parah
lagi, apakah kita tega menjadi orang-orang yang menghambat dakwah. Memusuhinya
dan membuat makar-makar untuk menggagalkannya. Karena dalam Islam, pasif
tidak boleh apalagi menjadi musuh dalam selimut bagi da’wah ilallaah.
Berdasarkan kajian
terhadap nash Alqur’an dan hadits maka dapat disimpulkan bahwa hukum da’wah
terbagi menjadi dua. Pertama fardhu jama’i
(kewajiban kolektif). Istilah ini lebih memotivasi dan merangsang orang untuk
berdakwah daripada istilah fardhu kifayah.
Karena dakwah pada
dasarnya adalah kewajiban kolektif yang harus dikelola secara kelembagaan. Yang
memiliki POAC (Planning, organizaing, actuating dan controlling) yang
jelas. Sehingga dakwah bukan kembali kepada perorangan tapi pada sebuah
institusi. Sehingga disana
ada kerjasama (ta’awuun), kerja keras dan kerja cerdas. Disana ada visi,
misi, sasaran dan tahapan yang jelas.
Kedua, dakwah
hukumnya fardhu ‘ain. Artinya setiap orang memiliki kewajiban untuk
berkontribusi dalam dakwah. Bukan berarti ia harus menjadi muballigh
atau ahli fatwa (mufti). Tapi ia berkewajiban mendorong dakwah pada tiga
hal.
Yaitu dari sisi
moral, ia harus menjadi pendukung-pendukung dakwah dan menjadi barisan yang
berada di belakang da’i dalam menegakkan amar ma’ruf nahii munkar.
Kedua dari sisi
sumber daya, setiap muslim wajib memikirkan dan memberikan kontribusi dana,
do’a, tenaga dan pikirannya dalam menegakkan kalimat Allah.
Ketiga dari sisi mobilisasi. Umat harus turut
melakukan mobilisasi yang dibutuhkan oleh gerakan dakwah. Jangan sampai ia
menjadi orang yang hanya diam-diam-diam dan tidak peduli. Misalnya
ketika di kampung marak perjudian. Pada saat itu pengurus Masjid melakukan mobilisasi
untuk menutup gardu-gardu ronda tempat judi togel/tokam, maka
setiap umat di wilayah tersebut harus turut serta membantu, melindungi dan
membelanya.
Ustadz bukankah
orang berdakwah harus memiliki ilmu yang memadai sehingga ia tidak salah dalam
memberikan pendapat, sebagaimana Allah berfirman fas’alu ahladz dzikri in
kuntum laa ta’lamuuna?
Benar bahwa Allah berfirman “Tanyakanlah kepada ahlu ilmu jika kalian tidak
mengetahuinya.” Ayat ini berkaitan
dengan masalah fatwa. Karena berkaitan dengan fatwa maka yang berhak
melakukannya adalah para ulama yang memahami fiqih Islam.
Namun berkaitan
dengan kontribusi sumber daya, moral dan mobilisasi dakwah maka setiap orang
tidak dituntut memiliki kapasitas setingkat ulama. Karena setiap muslim mampu
melakukannya. Buruh dapat memberikan kontribusi tenaga dan do’nya. Pegawai dapat memberikan kontribusi infak,
zakat, pemikiran maupun dalam pembuatan sistem, prosedur, kurikulum dan materi
dakwah.
Bahkan Rasulullah
mengatakan “Ballighuu ‘anni walau aayah”, sampaikan dariku meskipun satu ayat. Kita
yakin bahwa kita semua sudah banyak memahami ayat-ayat Alqur’an. Berdasarkan
hal tersebut maka kita memiliki kewajiban untuk menyampaikannya.
Contohnya ketika
kita membaca Surat Al Ma’uun, kita paham, kita hapal dan kita mengerti. Untuk
itu kita wajib menyampaikan dan merealisasikannya dalam kehidupan. Misalnya
dengan membentuk Lembaga Amil Zakat, melakukan bakti sosial dan memberikan
santunan bagi kaum dhu’afa.
Sekali lagi perlu
digarisbawahi bahwa dakwah memiliki dua hukum. Pertama fardhu jama’i , kedua fardhu
ain.
Untuk itulah marilah kita jadi muslim yang aktif
berdakwah. Baik dari sisi moral, lisan,
tulisan. sumber daya maupun turut berpartisipasi dalam kegiatan dakwah. Wallahu ‘alam
No comments:
Post a Comment