II.2. Fitrah Kehidupan
Alasan kedua adalah karena secara fitrah manusia
dilahirkan dengan keunikannya masing-masing. Manusia dilahirkan bersuku-suku
dan berbangsa-bangsa. Manusia juga memiliki cita rasa, kecenderungan, kemauan,
sudut pandang dan koridor yang berbeda-beda dalam mengenali dan memahami
permasalahan kehidupan. Demikian halnya dengan umat Islam, juga memiliki
kecenderungan, cita rasa dan pemikiran yang berbeda-beda.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ
مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.’(Al Hujuraat
49:13).
Karenanya wajar apabila
dalam kehidupan dunia ini lahir berbagai macam aliran, kelompok dan organisasi
keagamaan dengan warna dan coraknya yang berbeda-beda pula.
Secara fitrah manusia juga
ingin tampil beda. Ingin sesuatu yang baru yang tidak umum, agak nyentrik dan
unik. Untuk itu maka mereka melakukan berbagai kreatifitas dalam rangka berlomba-lomba
dalam kebaikan. Mereka ingin menunjukkan jati diri dan kelompoknya sehingga
dikenal, diakui hingga mendapatkan lisensi.
DR. Thaha Jabir Al ’Alwani berkata, ”Dilihat dari berbagai aspek, perbedaan merupakan kondisi alami
(fitrah). Perbedaan terkait erat dengan
kondisi perbedaan personal dalam batasan yang lebih jauh. Sangat mustahil
terbentuk sistem kehidupan dan membangun interaksi sosial diantara manusia yang
sama rata dalam berbagai hal. Sebab kalau begitu tidak akan ada proses take
and give diantara manusia.”[1]
”Kenyataannya, interaksi kehidupan
menghendaki adanya perbedaan kemampuan dan kepintaran (keahlian). Keinginan Allah yang bersifat ilmiah (hikmatullah) menghendaki bahwa
diantara manusia harus ada perbedaan yang akan bisa membangun kehidupan mereka.”[2]
Muslim satu dengan yang lain
juga memiliki ilmu, pengetahuan, pemahaman, agenda, prioritas, spesialisasi dan cita rasa yang
berbeda. Muslim yang senang dengan dunia pendidikan mereka mendirikan jama’ah
tarbiyah. Yang senang dengan sebutan ulama mendirikan jama’ah para ulama. Yang
senang dengan orang-orang terdahulu mereka membuat ajaran orang-orang
terdahulu. Yang senang dengan kesucian jiwa mereka membuat thariqah atau
jama’ah tasawuf. Yang senang dengan tabligh mendirikan jama’ah yang berdakwah .
Yang senang dengan kebebasan mendirikan partai pembebasan. Yang senang dengan
para nabi dan rasul mendirikan jama’ah rusuli.
Jadi merupakan hal yang
wajar jika dalam tubuh umat Islam lahir berbagai aliran, organisasi, kelompok,
madzab maupun manhaj. Ini adalah realitas kehidupan dan fitrah umat manusia
yang akan terus berlangsung hingga akhir zaman.
Rasulullah SAW bersabda, ”Aku meminta kepada Allah tiga hal lalu Dia memberikan dua hal dan menolak
yang satu. Aku minta kepada Allah agar tidak membinasakan umatku dengan bencana
kelaparan lalu Dia mengabulkannya. Aku meminta-Nya agar tidak membinasakan
umatku dengan bencana banjir lalu Dia mengabulkannya. Dan aku meminta-Nya agar
tidak menimpakan keganasan sebagian umatku kepada sebagian yang lain tetapi Ia
menolak permintaanku ini” (HR Muslim bab Fitan).[3]
Imam Ahmad, An Nasaai dan
Ibnu Hibban meriwayatkan hal yang sama dari Khabbab bin Arit, ”Aku pernah menyertai Rasulullah SAW melaksanakan sholat semalam penuh.
Setelah fajar Rasulullah SAW mengakhiri sholatnya, aku bertanya :”Wahai
Rasulullah, pada malam ini engkau melakukan sholat tidak seperti hari-hari
lainnya? Kemudian Rasulullah menjawab :”Ya...itu adalah sholat permohonan dan
keprihatinan. Dalam sholat tadi aku memohon kepada Allah tiga
hal........................” Dan seterusnya.
Namun syaikh Qardhawi
berpendapat bahwa hadits itu tidak menyebutkan bahwa keganasan tersebut akan
terjadi sepanjang sejarah, sepanjang tempat dan sepanjang waktu. ”Mungkin ”penyakit” perpecahan itu terjadi di suatu tempat , tetapi tidak
demikian di tempat lainnya, atau antar suatu kaum tetapi tidak demikian halnya
di suatu kaum yang lain.”[4]
”Hadits-hadits tersebut juga dapat ditafsirkan dengan apa yang pernah
terjadi pada beberapa kurun yang lampau. Fitnah-fitnah (perpecahan) telah
terjadi pada masa sahabat dan masa-masa sesudahnya, seperti di masa Umawi dan Abbasi.”[5]
DR. Muhammad Imarah menyatakan
bahwa perbedaan dan kemajemukan dalam tubuh umat Islam merupakan fitrah
kehidupan. ”...Maka manusia tidak akan pernah
menjadi satu tipe tertentu saja, tetapi mereka akan terus berbeda-beda satu
sama lain.”[6]
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ
لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ (118) إِلَّا
مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ
جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (119)
”Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu
(keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka
Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.”(Huud
11: 118-119).
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ
اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ
إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ
فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ
وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
”Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan),
maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab
itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah
datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara
mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada
kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan
Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang
lurus.” (Al Baqarah 2:213).
”Setelah periode pertama itu diikuti dengan periode
pluralitas risalah, rasul-rasul dan nabi-nabi, dengan beragamnya umat dan
berkembang biaknya generasi-generasi, agama mereka satu, sementara
syariat-syariat mereka beragam dan kitab-kitab mereka beragam pula.”[7]
[1]DR. Thaha Jabir Fayyadh Al ‘Alwani, Etika
Berbeda Pendapat Dalam Islam, Pustaka Hidayah (Bandung:2001), hal. 14.
[2]Ibid.
[3]Prof. DR. Yusuf Al Qaradhawi, Fiqhul
Ikhtilaf, Rabbani Press (Jakarta:1995), hal. 44-45. Lihat juga Terjemah Shahih
Muslim, Widjaya Karya (Jakarta:1993), HR Muslim bab Fitnah no. 2464.
[4]Fiqhul
Ikhtilaf hal. 50.
[5]Ibid.
[6]DR. Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas,
Gema Insani Press (Jakarta:1999), hal. 32.
[7]Ibid
hal. 33.
No comments:
Post a Comment