Translate

Mencari Artikel

FIND(Mencari)

Sunday 22 July 2018

Perjanjian Kerja


BAB I
PENDAHULUAN

     Dalam kehidupan ini banyak sekali terjadi hubungan antar individu atau antar organisasi atau antar instansi atau antar kelompok atau antar jenis kelamin.

     Namun tidak semua hubungan yang terjadi merupakan hubungan kerja.  Misalnya hubungan kekerabatan, persahabatan, perkawinan, paguyuban dan keorganisasian.
     Karena itulah kita dituntut untuk mengetahui apa itu hubungan kerja dan bagaimana ciri-cirinya?
    
1.1.   Hubungan Kerja

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.[1] 
Berdasarkan pengertian ini maka ada empat syarat terjadinya hubungan kerja. Yaitu adanya perjanjian kerja, pekerjaan, upah dan perintah.
Perjanjian kerja ini dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan. Khusus untuk perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis. Sedangkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat dilakukan secara lisan. Namun sebaiknya, kedua-duanya dibuat secara tertulis. Karena hal ini terkait dengan  masalah pembuktian di pengadilan hubungan industrial bila suatu saat terjadi perselisihan hubungan industrial.
Adapun unsur pekerjaan pada umumnya memiliki nama posisi pekerjaan atau jabatan atau job title yang biasanya dituangkan secara terperinci dalam bentuk uraian pekerjaan atau job description. Pengetahuan masalah ini secara terperinci dijelaskan dalam ilmu yang bernama analisa pekerjaan (job analysis).
Contoh posisi pekerjaan antara lain sekretaris, auditor, manajer pemasaran, kepala gudang, kepala cabang hingga kepala divisi. Sedangkan pekerjaannya dapat berupa mengetik, mencatat, menghubungi, mengepel, menganalisa, mengevaluasi, memasarkan hingga mengambil keputusan.
Sedangkan upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang‑undangan, termasuk  tunjangan  bagi  pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.[2]
Upah ini dibayarkan secara langsung dari pengusaha kepada pekerja baik dengan cara tunai maupun melalui transfer bank.
Upah dapat terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maupun upah clean wages yang besarnya tidak boleh kurang dari upah minimum propinsi atau upah minimum regional.
Adapun perintah dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Dengan lisan yaitu dengan cara memberikan perintah langsung kepada pekerja untuk melaksanakan suatu pekerjaan.
Secara tertulis dapat dilakukan melalui uraian pekerjaan, RKAP, program kerja ataupun disposisi. Namun pada umumnya dilakukan melalui job description.
Bedanya dengan penyerahan sebagian pelsanaan pekerjaan kepada perusahaan pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja / buruh adalah bahwa pada pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja / buruh, perjanjian kerjanya dibuat antara perusahaan pemborong pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh dengan pekerja / buruh yang dipekerjakan untuk melaksanakan  sebagian pekerjaan perusahaan pemberi pekerjaan yang diserahkan pelaksanaannya kepada perusahaan pemborong pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh, dan yang membayar upah kepada pekerja tersebut adalah perusahaan pemborong pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh. Dengan demikian tidak ada hubungan kerja antara pekerja perusahaan pemborong pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
 Ketentuan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain secara terperinci diatur dalam 64, 65 dan 66 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 dan Kepmenakertrans Nomor Kep. 220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada perusahaan lain serta Kepmenakertrans Nomor Kep. 101/MEN/VI/2004.
Pemahaman masalah hubungan kerja ini sangat penting dan mendasar yaitu agar kita mampu membedakannya dengan penyerahan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. 

1.2.   Perjanjian Kerja

Menurut Pasal 1601a KUH Perdata yang dimaksud dengan Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu, buruh mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain, majikan, selama waktu tertentu dengan menerima upah.
     Sedangkan menurut Pasal 1 angka 14 UU 13 tahun 2003, pengertian Perjanjian kerja adalah  perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha  atau pemberi kerja yang memuat syarat‑syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
     Berdasarkan hal ini maka ada enam unsur perjanjian kerja yaitu :
a.      Perjanjian
Perjanjian disini dapat lahir karena persetujuan maupun karena undang-undang. Dalam perjanjian kerja, perjanjian yang terjadi lahir karena adanya persetujuan. Dimana pihak yang satu memberikan prestasi atau hasil kerja sementara pihak yang lain memberikan upah.
Dengan catatan dalam perjanjian kerja terjadi kekhususan yaitu isi perjanjian kerja tidak boleh lebih rendah dari aturan normatif yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan maupun syarat kerja yang tertuang dalam Pejanjian Kerja Bersama (PKB) atau Peraturan Perusahaan (PP).
Perjanjian kerja dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu wajib dilakukan secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin, jika tidak maka dinyatakan menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.

b.      Pekerja/Buruh
          Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[3] Dengan demikian pekerja memiliki kewajiban untuk bekerja dan karena itu maka ia berhak menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

c.      Pengusaha / Pemberi Kerja
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.[4]
Adapun Pengusaha adalah a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan  b  yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.[5]
Dengan adanya pemberi kerja / pengusaha maka disini ada hubungan majikan dan buruh. Artinya ada yang diperintah dan ada yang menjalankan perintah. Jadi ada kedudukan yang tidak setara. Yang satu menyuruh dan yang lainya disuruh.
Hal ini berbeda dengan dokter dan pasien. Disini kedudukannya setara. Begitupun dengan perjanjian pemborongan pekerjaan atau kontrak pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan pemborong. Selain itu yang dibayarkannya bukanlah upah tapi uang jasa.
                   
d.      Syarat-Syarat Kerja
Syarat kerja adalah hak dan kewajiban antara pengusaha dengan pekerja atau buruh yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja (PK).
Syarat kerja bagi pekerja/buruh antara lain   memiliki kemampuan/kompetensi yang diperlukan Perusahaan, cakap secara hukum dan kesediaan untuk mentaati perjanjian kerja dan ketentuan-ketentuan lainnya yang ada pada Perusahaan.
Sedangkan syarat kerja bagi Pengusaha antara lain membayar upah. Mengikutsertakan pekerja dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Memberikan tunjangan hari raya keagamaan. Menyediakan kondisi kerja yang aman, nyaman dan sesuai dengan ketentuan mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Dan memenuhi seluruh ketentuan ketenagakerjaan atau PKB atau PP atau PK yang berlaku.

e.      Hak
Hak adalah segala sesuatu yang harus diterima oleh para pihak. Hak pekerja adalah menerima upah dan segala jenis tunjangan sesuai ketentuan yang berlaku. Sedangkan hak pengusaha adalah memberikan perintah atau menerima prestasi kerja dari pekerja sesuai dengan Perjanjian Kerja atau Job Description atau Sistem Penilaian Kinerja.

f.      Kewajiban
Kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh para pihak. Dengan kata lain hak Pekerja adalah kewajiban Pengusaha. Sedangkan hak pengusaha adalah kewajiban pekerja. Kewajiban pengusaha adalah membayar upah atau imbalan lainnya atau tunjangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan kewajiban pekerja adalah bekerja atau memberikan prestasi dengan sebaik-baiknya.

1.3.   Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya Perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Yang berbunyi :
Syarat sahnya perjanjian diperlukan empat syarat :
1.  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.  kecakapan untuk melakukan perikatan;
3.  suatu hal tertentu;
4.  suatu sebab yang halal.
Syarat nomor 1 (satu) dan nomor 2 (dua) dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orang atau subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat nomor 3 (tiga) dan nomor 4 (empat)  dari syahnya suatu perjanjian kerja tersebut dinamakan syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dalam hal suatu syarat subyektif itu tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat dibatalkan,  artinya salah satu pihak mengajukan pembatalan ke Pengadilan Negeri. Dalam hal suatu syarat obyektif itu tidak terpenuhi, maka perjanjiannya batal demi hukum artinya dari awal tidak pernah ada perjanjian.
Contoh syarat subjektif adalah perjanjian kerja yang dibuat oleh anak-anak. Maka walinya dapat meminta pembatalan ke pengadilan.
Sedangkan contoh syarat objektif adalah perjanjian kerja untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Maka secara otomatis perjanjian dianggap tidak ada karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya perjanjian kerja di perusahaan yang mengedarkan narkoba secara ilegal.
Sedangkan berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a.  kesepakatan kedua belah pihak;                                
b.  kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.  adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan           
d.  pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
Kemudian ayat selanjutnya menyatakan : (2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan. Ayat (3)menyatakan Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d  batal demi hukum.     Selanjutnya perjanjian yang telah disepakati tersebut menjadi undang-undang bagi kedua belah pihak. Dimana kedua belah pihak harus mematuhinya. Perjanjian ini tidak dapat ditarik kembali kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan undang-undang. Untuk itu maka perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.[6]
Dalam hal tertentu perjanjian dapat diubah yaitu dengan cara melakukan amandemen jika ada perubahan atau dengan addendum jika terdapat penambahan isi perjanjian.

1.4.   Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
    
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.[7]
Berdasarkan pengertian tersebut maka ada empat hal yang menjadi ciri PKWT. Pertama, merupakan perjanjian untuk mengadakan hubungan kerja. Karena itu PKWT harus memenuhi syarat sahnya perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang 13 Tahun 2003.
Kedua, hubungan kerja didasarkan atas jangka waktu tertentu atau selesainya pekerjaan tertentu. Artinya bahwa hubungan kerja dengan PKWT sifatnya sementara atau untuk waktu yang tidak terlalu lama.
Ketiga,
yaitu perjanjian kerja. Artinya bahwa PKWT merupakan perjanjian dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Karena itu PKWT harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Yaitu memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata atau Pasal 52 Undang-Undang 13 Tahun 2003.
Selanjutnya yang menjadi ruang lingkup dalam perjanjian ini adalah mengenai pekerjaan. Yaitu adanya unsur upah, perintah dan pekerjaan. Karena itu dalam perjanjian kerja ada orang yang menyuruh atau memerintahkan yaitu pengusaha dan ada yang disuruh atau yang diperintahkan yaitu pekerja/buruh.
     Perjanjian Kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.[8]

    



















BAB II
KETENTUAN UMUM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

Pada bab ini akan dibahas mengenai ketentuan umum PKWT. Yaitu mulai dari syarat kerja dalam PKWT, isi PKWT, masa percobaan, Perpanjangan PKWT, Pembaruan PKWT, Jenis-Jenis PKWT, Berakhirnya PKWT, Ganti Rugi dan Pencatatan PKWT.

2.1.   Syarat Umum PKWT
Secara umum syarat kerja dalam PKWT diatur pada Pasal 54 UU 13 Tahun 2003. Yaitu perjanjian kerja harus dibuat secara tertulis dan sekurang-kurangnya memuat :
a.  nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; 
b.  nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; 
c.  jabatan atau jenis pekerjaan;
d.  tempat pekerjaan; 
e.  besarnya upah dan cara pembayarannya;
f.  syarat‑syarat  kerja  yang  memuat hak dan kewajiban  pengusaha dan pekerja/ buruh;
g.  mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
h. dan tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Serta ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e dan f di atas tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
Atau dengan kata lain isi PKWT tidak boleh bertentangan norma kerja baik yang bersifat umum yang diatur dalam peraturan perundang‑undangan yang berlaku maupun norma khusus berupa syarat kerja yang di atur dalam PKB/PP.
Dalam dunia kerja misalnya pengusaha harus memberikan upah serendah-rendahnya setara dengan upah minimal propinsi. Memberikan cuti minimal 12 hari kerja setelah bekerja lebih dari satu tahun.
Memberikan THR sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Yaitu tunjangan Hari Raya keagamaan harus dibayarkan 15 (lima belas) hari sebelum Hari Raya keagamaan dengan ketentuan bahwa besarnya Tunjangan Hari Raya Keagamaan diberikan 1 (satu) kali bulan upah, Untuk masa kerja buruh yang kurang dari 1 (satu) tahun, tunjangan Hari Raya Keagamaan yang diterima dihitung secara proporsional dengan ketentuan masa kerja yang kurang dari 3 (tiga) bulan tidak diberikan Tunjangan Hari Raya Keagamaan. Dan apabila buruh mengundurkan diri atau berhenti, 1 (satu) bulan atau lebih sebelum Hari Raya Keagamaan, maka buruh tersebut tidak diberikan Tunjangan Hari Raya Keagamaan.
    Selanjutnya PKWT tersebut dibuat sekurang‑kurangn­ya rangkap 2 (dua),  yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing‑masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
   Syarat umum lainnya PKWT harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan dengan huruf latin. Dapat juga dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing. Namun jika terjadi perbedaan penafsiran maka yang berlaku adalah yang berbahasa Indonesia.[9]
  Selain itu sesuai dengan Pasal 59 Undang-Undang 13 Tahun 2003, PKWT juga harus memenuhi syarat yaitu :
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a.  pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.  pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.  pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.  pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha  yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.  
(6)  Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.                                                 
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal  ini akan diatur lebih lanjut dengan  Keputusan Menteri.  
Yaitu diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

2.2.   Isi PKWT
Sebagaimana telah dijelaskan pada Pasal 54 Undang-Undang 13 Tahun 2003, isi PKWT sekurang-kurangnya memuat, nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha, nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh, jabatan atau jenis pekerjaan, tempat pekerjaan, besarnya upah dan cara pembayarannya, syarat‑syarat  kerja  yang  memuat hak dan kewajiban  pengusaha dan pekerja/ buruh, mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja, tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat dan tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
a.  Identitas Pengusaha
Jadi pada PKWT harus menjelaskan identitas Pengusaha yang meliputi nama perusahaan, alamat dan dasar hukum pendiriannya, yang dalam penandatanganannya biasanya diwakili oleh Pimpinannya atau Direktur Utama. Dapat juga didelegasikan kepada pejabat lainnya. Misalnya kepada Kepala Cabang atau Kepala Divisi, dengan syarat ada aturan atau pendelegasian yang jelas tertulis pada Perusahaan tersebut. Baik dalam bentuk keputusan atau surat.
Contoh identitas Pengusaha dalam PKWT adalah :
PT ........., yang didirikan dengan Akte Notaris ..... No. ... tanggal .... di ...., sebagaimana telah diubah terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT .... dari Notaris ..... No. ... tanggal ... di ... tentang Perubahan Anggaran Dasar .... dan telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman RI nomor C2-.... HT. ... th. .. tanggal .... serta diumumkan dalam Berita Negara RI tanggal .... No. ...., tambahan Berita Negara No. ..., sebagaimana terakhir telah diperbaharui dengan Akte Pernyataan Keputusaan Rapat ...... dari Notaris Nyonya ....... Nomor ... Tanggal ... tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Direksi ... beralamat di Graha ... Jalan ..... Kode Pos ...., dalam perbuatan hukum ini diwakili secara sah oleh ...... dalam jabatannya sebagai Direktur Utama, selanjutnya dalam Perjanjian Kerja ini disebut sebagai PIHAK KESATU.

     Apabila dalam pembuatan perjanjian kerja pihak perusahaan memberikan kuasa kepada wakilnya dalam melakukan penandatanganan perjanjian kerja, maka pihak yang ditunjuk atau yang diberi kuasa tersebut harus bertindak untuk dan  atas nama perusahaan bukan atas nama pribadi.

b.  Identitas Pekerja / Buruh
Isi PKWT selanjutnya adalah tentang identitas pekerja / buruh seperti nama, jenis kelamin, umur dan alamat. Contoh :
<Nama>, usia ..... tahun, jenis kelamin ....., agama......., berdasarkan Kartu Tanda Penduduk No. .......................... yang dikeluarkan oleh Camat ……  bertempat tinggal di Jl. ….. Kelurahan Rt. /… No.   Kecamatan …. Kota/Kabupaten …, Provinsi ….. Kode Pos ..... yang selanjutnya dalam Perjanjian ini disebut sebagai PIHAK KEDUA.

c.  Jabatan / Jenis pekerjaan
     Kemudian tentang jabatan atau jenis pekerjaan. Yang dimaksud dengan jabatan atau jenis pekerjaan yang diperjanjikan adalah jabatan yang diduduki atau yang akan dikerjakan. Hal ini perlu untuk memberikan kepastian jabatan atau jenis pekerjaannya, namun tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan jabatan atau jenis pekerjaan dikemudian hari karena kebutuhan operasional perusahaan sepanjang disepakati dan merupakan addendum substansi dalam Perjanjian Kerja.
Pada PKWT biasanya hanya disebutkan nama jabatannya saja. Adapun uraian pekerjaannya biasanya dituangkan dalam job description. Contohnya adalah :

PIHAK KEDUA ditempatkan di <UNIT KERJA> (<SINGKATAN>),  untuk melaksanakan pekerjaan sebagai <POSISI PEKERJAAN> dengan status sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) dengan Nomor Register Pegawai (NRP) ………………..

Lingkup pekerjaan PIHAK KEDUA secara rinci akan ditetapkan secara tertulis oleh Kepala Divisi  ………………… atau Pejabat lain yang ditunjuk olehnya.

Atau dalam bentuk yang lebih terinci uraian pekerjaan dapat dilihat pada contoh berikut ini :

Lingkup pekerjaan PIHAK KEDUA secara rinci adalah sebagai berikut :

1.    Merumuskan kebijakan umum pengadaan Pegawai PT ......;
2.    Membuat Rumusan Mekanisme / Tata Cara Pengisian Posisi Pekerjaan PT ....;
3.    Membantu Tim merumuskan Keputusan Direksi mengenai prosedur Pengadaan Pegawai Tetap, Pengadaan Pegawai Tidak Tetap, Perpanjangan Pegawai Tidak Tetap, Pembaruan Pegawai Tidak Tetap, Pengadaan Pegawai Harian Lepas dan Pengadaan Pemborongan Jasa Pekerja;
4.    Merumuskan Pekerjaan Utama (CORE)  dan Pekerjaan Penunjang (NON CORE) PT .....;
5.    Melakukan penyempurnaan nama-nama posisi pekerjaan;
6.    Melakukan penyelarasan job family;
7.    Membuat rumusan organisasi, wewenang, tugas pokok dan tanggung jawab Divisi Pengembangan SDM sesuai dengan kebutuhan bisnis Perusahaan;
8.    Membantu menyelesaikan permasalahan posisi pekerjaan yang tidak diatur dalam Keputusan Direksi dan PKWT serta Perjanjian Pemborongan  yang ada saat ini;
9.    Membantu menyelesaikan permasalahan PKWT dan Pemborongan Pekerjaan sebelum ditetapkannya Keputusan yang baru tentang PKWT dan Pemborongan Pekerjaan;
10.  Memberikan pemahaman atau konsultasi kepada Divisi PSDM dan atau Business Support dalam masalah ketenagakerjaan;
11.  Melakukan kajian atas Perjanjian Kerja Bersama dan Peraturan Disiplin Pegawai agar sesuai dan selaras dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
12.  Melaksanakan tugas-tugas lainnya yang diberikan oleh Ketua atau Penanggung Jawab Tim Penyelesaian Permasalahan Hubungan Industrial.

d.  Tempat Pekerjaan
Tempat pekerjaan adalah tempat dimana pegawai ditempatkan. Baik terkait dengan lokasi kerja maupun unit kerja. Tempat atau lokasi pekerjaan harus ditetapkan dalam perjanjian kerja, hal ini untuk memberikan kepastian bagi pekerja dimana tempat bagi pekerja untuk melakukan aktivitas pekerjaannya. Contohnya :
PIHAK KEDUA ditempatkan di <UNIT KERJA> (<SINGKATAN>) Lokasi ........

e.  Upah dan cara pembayarannya
Salah satu hal yang membedakan Perjanjian Kerja dengan Perjanjian Pemborongan adalah masalah upah. Pada perjanjian kerja upah langsung diberikan kepada Pekerja. Adapun cara pembayarannya dapat dilakukan secara cash & carry atau dengan cara transfer ke rekening pekerja.
Pada masalah ini juga diatur mengenai tunjangan-tunjangan lainnya yang diterima oleh pekerja. Misalnya seperti THR, tunjangan kehadiran atau tunjangan makan. Contoh klausul upah atau imbalan :
(1)  Selama PIHAK KEDUA bekerja pada PIHAK KESATU, maka PIHAK KEDUA berhak atas upah  sebesar Rp.<…>,- (…….  rupiah ) dan tunjangan kehadiran sebesar Rp. ……… (…….rupiah) yang dibayarkan pada tanggal akhir bulan yang bersangkutan atau sehari atau dua hari sebelumnya apabila tanggal terakhir jatuh pada hari libur melalui transfer bank ke rekening PIHAK KEDUA.

(2)  Dalam hal PIHAK KEDUA tidak hadir bukan karena alasan dinas, meliputi :

a.    Ijin ataupun tidak ijin;
b.    Sakit (kecuali sakit rawat inap);
c.    Melaksanakan Istirahat tahunan.

maka tunjangan kehadiran akan dipotong sebesar Rp ……. (……rupiah) per ketidakhadiran.

(3)    PIHAK KEDUA memperoleh Tunjangan Hari Raya Keagamaan yang dibayarkan 15 (lima belas) hari sebelum Hari Raya Idul Fitri dengan ketentuan bahwa besarnya Tunjangan Hari Raya Keagamaan diberikan 1 (satu) kali jumlah upah sebagaimana tersebut pada ayat (1) Pasal ini.

      Untuk masa kerja yang kurang dari 1 (satu) tahun, terhitung sejak tanggal berlakunya Perjanjian ini, Tunjangan Hari Raya Keagamaan yang diterima PIHAK KEDUA dihitung secara proporsional, dengan ketentuan masa kerja yang kurang dari 3 (tiga) bulan tidak diberikan Tunjangan Hari Raya Keagamaan.

      Apabila PIHAK KEDUA mengundurkan diri atau berhenti dari perusahaan PIHAK KESATU, 1 (satu) bulan atau lebih sebelum Hari Raya Keagamaan, maka kepada PIHAK KEDUA  tidak diberikan Tunjangan Hari Raya Keagamaan.

(4)    Apabila PIHAK KEDUA ditugaskan melakukan perjalanan dinas keluar kota maka PIHAK KEDUA menerima uang harian perjalanan dinas yang besarnya disetarakan dengan uang harian perjalanan dinas bagi Pegawai Tetap (PT) Golongan …..

(5)      Kesetaraan bagi PIHAK KEDUA sebagaimana dimaksud pada ayat (4)  Pasal ini, hanya berlaku untuk Perjalanan Dinas dan tidak diberlakukan untuk hal lain.


(6)      PIHAK KEDUA memperoleh hak cuti tahunan dan uang cuti tahunan setelah 1 (satu) tahun bekerja di Perusahaan, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan Perusahaan PIHAK KESATU yang berlaku.

(7)     Pajak atas imbalan yang diterima PIHAK KEDUA, ditanggung dan dibayarkan oleh PIHAK KESATU dengan ketentuan PIHAK KEDUA memiliki NPWP.

(8)      PIHAK KEDUA diikutsertakan dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam Peraturan Perusahaan PIHAK KESATU yang berlaku.

(9)     PIHAK KEDUA memperoleh Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sesuai dengan program JAMSOSTEK (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), kecuali untuk biaya selama dalam kondisi GAWAT DARURAT menjadi beban PIHAK KESATU.

(10)     PIHAK KEDUA diberikan Lembur  sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam Peraturan Perusahaan PIHAK KESATU yang berlaku.

(11)    PIHAK KEDUA tidak mendapatkan penghasilan lain dalam bentuk apapun   juga selain yang telah ditetapkan dalam Pasal ini.

Yang pada intinya upah dan syarat kerja tidak boleh lebih rendah dari ketentuan normatif yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.[10]

f.  Tanggal berlaku dan selesainya Perjanjian Kerja

Tanggal ini merupakan salah satu ciri pokok perjanjian kerja. Yaitu ada tanggal mulai dan berakhirnya perjanjian kerja. Khusus untuk tanggal berakhirnya perjanjian kerja dapat dibedakan menjadi peerjanjian kerja yang normal dengan proyek.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu selain harus diatur jangka waktu berlakunya perjanjian kerja, tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja dan tanggal berakhirnya perjanjian kerja, harus diatur / dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
Untuk jelasnya dapat dilihat pada contoh berikut ini.
Perjanjian Kerja ini berlaku selama <..> (…) tahun terhitung sejak tanggal   <TGL> bulan <BLN> tahun <THN> (DD/MM/YY) dan berakhir demi hukum sampai dengan tanggal <TGL> bulan <BLN> tahun <THN> (DD/MM/YY).
Sedangkan contoh untuk pekerjaan yang sifatnya proyek atau untuk pekerjaan tertentu adalah :
(1)  Perjanjian Kerja ini berlaku selama <..> (…) tahun terhitung sejak tanggal   <TGL> bulan <BLN> tahun <THN> (DD/MM/YY) sampai dengan tanggal <TGL> bulan <BLN> tahun <THN> (DD/MM/YY) atau selesainya pelaksanaan pekerjaan sesuai Perjanjian Kerja antara PT. ... dengan …….. Nomor…….. dan Nomor  …………. tanggal ……………. yang dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan antara PT. ... dengan ................................

(2)        Apabila pelaksanaan proyek sebagaimana tersebut di atas karena sesuatu hal diberhentikan oleh salah satu atau kedua belah PIHAK antara Pemberi Proyek dengan PIHAK KESATU sebelum selesainya Proyek , maka jangka waktu Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini,  berlaku sampai dengan 1 (satu) bulan setelah ditetapkannya pemberhentian Proyek.

g.  Syarat‑syarat  kerja  yang  memuat hak dan kewajiban  pengusaha dan pekerja/ buruh

Hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh  tersebut antara lain :
a.  Macam pekerjaan, cara melaksanakannya, jam kerja dan tempat kerja.
b.  Besarnya upah dan konsep upah serta cara pembayaran upah dan fasilitasnya.
c.  Jaminan Pemeliharaan Kesehatan berupa biaya dokter, poliklinik, penggantian kacamata, biaya bersalin dsb.
d.  Jaminan Sosial misalnya kecelakaan, meninggal dunia, sakit dan pensiun.
e.  Dalam Perjanjian Kerja juga dimuat cuti, ijin meninggalkan pekerjaan dan hari libur.
Hak dan kewajiban para pihak ini biasanya sudah dituangkan dalam Perjanjian Kerja Bersama atau Peraturan Perusahaan atau ketentuan iternal lainnya yang ada pada Perusahaan. Karena jika dirinci tentu akan menjadikan perjanjian kerja semakin tebal.
Contoh klausul ini adalah sebagai berikut :
(1)    PIHAK KEDUA wajib melaksanakan pekerjaan PIHAK KESATU sesuai dengan standard kinerja yang ditentukan oleh Perusahaan dan taat pada peraturan Perusahaan PIHAK KESATU yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada :

a.    Ketentuan mengenai waktu jam kerja normal pada Perusahaan PIHAK KESATU yakni :

-     Senin s/d Jum’at   :  08.00 WIB s/d 17.00 WIB.
dengan waktu istirahat :  12.00 WIB s/d 13.00 WIB.
Istirahat Jum’at             :  11.30 WIB s/d 13.00 WIB

-     Kecuali ditentukan lain sesuai dengan keperluan Perusahaan.

b.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003  tentang Ketenagakerjaan.

c.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No. : Kep.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

d.    Perjanjian Perjanjian Kerja Bersama antara PT. ….. dan .... ……. Nomor ….. dan Nomor  ……  tanggal ……… .

e.    Ketentuan-ketentuan lainnya pada PT …….. yang berlaku.

(2)  PIHAK KEDUA wajib menjaga rahasia Perusahaan PIHAK KESATU serta dokumen-dokumen / keterangan yang diperoleh dalam menjalankan pekerjaan berdasarkan Perjanjian ini baik selama maupun sesudah berakhirnya Perjanjian ini.

Syarat-syarat kerja yang dimuat dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu isinya tidak boleh lebih rendah dari syarat-syarat kerja yang berlaku di perusahaan sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama atau ketentuan perundang undangan yang berlaku.

h.  Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja, tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat dan tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
     Masalah ini dalam perjanjian kerja biasanya ditulis pada awal perjanjian. Sedangkan tanda tangan kedua belah pihak diatur pada akhir perjanjian kerja. Dalam hal Perjanjian Kerja telah disepakati maka para pihak harus membubuhkan tanda tangan dalam Perjanjian Kerja yang dimaksud.
Contohnya :
Pada hari ini, <Hari>, tanggal <TGL> bulan <BLN> tahun <THN>  (DD/MM/YY) bertempat di PT. B...... beralamat di Jalan ......., ......,.... telah diadakan perjanjian (selanjutnya disebut “Perjanjian”) antara pihak-pihak:

Contoh penempatan tanda tangan :

PIHAK KEDUA,



<NAMA>
Pegawai

PIHAK KESATU,


<NAMA>
Nama Jabatan


i.  Ganti Rugi
Selain klausul-klausul di atas, sebaiknya perjanjian kerja juga mengatur mengenai ganti rugi[11]. Sebab untuk mencari pegawai yang kompeten dibutuhkan biaya, tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Untuk itu perlu klausul ganti rugi dengan contoh sebagai berikut :

(1) Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja, tanpa kesalahan salah satu pihak maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah Pegawai sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini tidak berlaku jika Proyek berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Perjanjian ini. (Untuk PKWT proyek).

j.  Pemutusan Hubungan Kerja

Selanjutnya kita perlu juga mengatur mengenai tata cara pemutusan hubungankerja. Hal ini untuk memudahkan bagi kedua belah pihak jika dalam perjalanan ada PHK.
                                                                       
(1)  PIHAK KESATU berhak memutus hubungan kerja dengan PIHAK KEDUA, jika PIHAK KEDUA sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Perjanjian ini berakhir, tidak memenuhi standard kinerja yang telah ditetapkan oleh Perusahaan, dan atau karena sebab-sebab lain sebagaimana diatur dalam Peraturan Perusahaan PIHAK KESATU yang berlaku.
   
(2)  Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, maka PIHAK KESATU wajib memberitahukan hal tersebut kepada PIHAK KEDUA selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelumnya.
   
(3)  Surat Perjanjian Kerja ini berakhir demi hukum dengan sendirinya sesuai ketentuan Pasal 2 Perjanjian ini. Apabila PIHAK KESATU dan PIHAK KEDUA akan memperpanjang hubungan kerja, maka PIHAK KESATU harus memberitahukan kepada PIHAK KEDUA secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hubungan kerjanya berakhir, apabila tidak ada pemberitahuan dari PIHAK KESATU maka Perjanjian Kerja dianggap tidak diperpanjang.

(4)  Dalam hal pemberhentian atas permintaan PIHAK KEDUA sebelum tanggal berakhirnya Perjanjian Kerja ini, maka PIHAK KEDUA wajib menyampaikan surat permohonan pengunduran diri selambat- lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tanggal pengunduran diri serta menyampaikan laporan pertanggungjawaban tertulis kepada PIHAK KESATU atau pejabat lain yang ditunjuk oleh PIHAK KESATU.        

(5)  Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja karena pelanggaran yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA terhadap Peraturan Perusahaan yang berlaku, maka PIHAK KESATU tidak membayar ganti rugi apapun kepada PIHAK KEDUA.

(6)  Apabila PIHAK KEDUA terbukti memiliki hubungan keluarga dengan salah seorang Karyawan Perusahaan PIHAK KESATU yang meliputi : suami-istri,  kakak-adik kandung/tiri/angkat, orang tua-anak kandung/tiri/angkat  maka PIHAK KESATU akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja tanpa membayar ganti rugi apapun kepada PIHAK KEDUA.

k.  Lain-Lain atau Penyelesaian Perselisihan
    Klausul lainnya yang diperlukan yaitu mengenai penyelesaian perselisihan. Bak yang terkait dengan penafsiran klausul-klausul perjanjian maupun jika salah satu pihak melakukan pelanggaran.  Contoh :  
(1)  Hal-hal  yang  tidak  diatur  dalam  Perjanjian  Kerja ini,  berlaku  ketentuan –ketentuan    yang    tercantum   dalam    Perjanjian Kerja Bersama Antara PT.    dengan …..

(2)  Dalam hal timbul persengketaan akibat Perjanjian Kerja ini, maka penyelesaiannya dilakukan secara musyawarah dan atau sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

(3) Perjanjian Kerja ini akan disesuaikan sebagaimana mestinya apabila ada perubahan peraturan dan kebijakan Perusahaan PIHAK KESATU yang baru.
                                         
(4)  Perjanjian Kerja ini dibuat dalam rangkap 2 (dua) asli masing-masing sama bunyinya dan mempunyai kekuatan hukum yang sama setelah ditandatangani serta masing-masing pihak memegang satu asli untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.


2.3.   Masa Percobaan
    Pada PKWT tidak dibolehkan mempersyaratkan adanya masa percobaan. Jika ada maka masa percobaan yang disyaratkan batal demi hukum.[12] Maknanya masa percobaan tersebut batal dengan sendirinya tanpa perlu adanya putusan hakim. Konsekuensi hukumnya maka hak-hak pekerja tersebut selama periode percobaan sama dengan hak-hak pekerja tidak tetap. Dan masa kontraknya dihitung mulai masa percobaan.

2.4.   Syarat Materiil dan Syarat Formil PKWT
Selanjutnya kita harus memahami syarat materiil dan syarat formil PKWT. Sebab kesalahan dalam memahami hal ini dapat berakibat fatal. Yaitu berubahnya PKWT menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Artinya Perusahaan harus mempekerjakan buruh tersebut sampai dengan usia pensiun. Atau jika Perusahaan ingin melakukan PHK sebelum usia pensiun, maka Perusahaan harus membayar uang pesangon, uang penghargaan dan uang ganti rugi sesuai ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku. Dan PHK juga harus dilaksanakan sesuai dengan Pasal 151 Undang-Undang 13 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Syarat materiil dalam PKWT diatur pada Pasal 59 ayat (1) dan (2) Undang-Undang 13 Tahun 2003 yaitu :
(1)       Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a.  pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.  pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.  pekerjaan yang bersifat musiman;
d.  atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.    
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. 
Pekerjaan  yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus,  tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu.[13]
Berdasarkan penjelasan ini yang termasuk pekerjaan yang dapat menggunakan pola PKWT adalah pekerjaan-pekerjaan tambahan dalam tahun berjalan yang melebihi kapasitas produksi yang telah ditetapkan dalam rencana kerja Perusahaan, meskipun pada hakekatnya pekerjaan tersebut memiliki sifat sebagai pekerjaan tetap.
Contohnya pekerjaan perawat pada rumah sakit Anita yang sifatnya terus menerus dapat menggunakan pola PKWT. Dengan catatan RS Anita pada awal tahun telah menetapkan jumlah perawat yang dibutuhkan misalnya sebanyak 100 orang. Kemudian pada tahun berjalan ternyata membutuhkan tambahan 50 perawat. Maka 50 orang perawat tersebut dapat dipekerjakan dengan menggunakan pola PKWT.
Sedangkan syarat formilnya diatur pada Pasal 59 ayat (3), (4), (5) dan (6) yang berbunyi :
(3)        Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.

(4)        Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.           

(5)        Pengusaha  yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.                                            

(6)        Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.            

Hal ini akan dibahas secara lebih mendalam dalam pembahasan perpanjangan, pembaruan dan jenis-jenis PKWT.

2.5.   Jenis-Jenis PKWT

  Berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang 13 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100/MEN/VI/2004, jenis-jenis PKWT dapat dibagi menjadi empat yaitu :
1.      PKWT Untuk Pekerjaan Yang Sekali Selesai Atau Yang Sementara Sifatnya Yang Penyelesaiannya Paling Lama 3 (Tiga) Tahun;
2.      PKWT Untuk Pekerjaan Musiman;
3.      PKWT Untuk Pekerjaan Yang Berhubungan Dengan Produk Baru, Kegiatan Baru atau Produk Tambahan Yang Masih Dalam Masa Penjajakan;
4.      PKWT Harian Lepas

2.6.   Perpanjangan PKWT
Perpanjangan PKWT hanya dapat dilakukan bagi PKWT untuk jenis Pekerjaan Yang Sekali Selesai Atau Yang Sementara Sifatnya Yang Penyelesaiannya Paling Lama 3 (Tiga) Tahun. Atau bagi PKWT Untuk Pekerjaan Yang Berhubungan Dengan Produk Baru, Kegiatan Baru atau Produk Tambahan Yang Masih Dalam Masa Penjajakan.
Dengan pola kontraknya adalah 2 tahun kemudian diperpanjang 1 tahun. Atau 1 tahun kemudian diperpanjang 1 tahun. Atau 1,5 tahun kemudian diperpanjang 1 tahun. Atau dengan prinsip umum kontrak pertama maksimal 2 tahun dengan perpanjangan maksimal 1 tahun.
Dalam hal perjanjian kerja hendak diperpanjang maka Pengusaha harus memberitahukan maksudnya tersebut minimal 7 hari sebelum perjanjian kerja berakhir.
Artinya bila perjanjian kerja berakhir pada tanggal  30 Maret 2012 maka harus sudah disampaikan secara tertulis sebelum tanggal 23 Maret 2012. Tentunya sangat baik bila hal tersebut sudah disampaikan pada tanggal 22 Maret atau 21 Maret atau 20 Maret 2012.
Sehingga hal ini dapat memberikan waktu yang cukup bagi pegawai untuk berfikir dalam melanjutkan hubungan kerja.

2.7.   Pembaruan PKWT
Pembaruan PKWT hanya dapat dilakukan bagi PKWT untuk jenis Pekerjaan Yang Sekali Selesai Atau Yang Sementara Sifatnya Yang Penyelesaiannya Paling Lama 3 (Tiga) Tahun. Atau bagi PKWT untuk pekerjaan tertentu (proyek).
Yang sebelumnya harus diawali dengan adanya jeda minimal selama 30 hari kalender. Dalam masa jeda ini pegawai tidak boleh masuk kerja, tidak ada pekerjaan dan tidak ada upah.
Dalam prakteknya seringkali Pengusaha mempekerjakan pegawai dalam masa jeda. Yaitu pegawai tetap masuk kerja, melaksanakan pekerjaan dan mendapatkan upah. Untuk mengelabuinya, Pengusaha sering membayarkan upah dengan cara tunai, sehingga tidak ada bukti tertulis yang dipegang oleh pegawai.
Atau dalam masa jeda, Pengusaha mengalihkan hubungan kerja pegawai kepada perusahaan pemborongan jasa pekerja.
Khusus bagi PKWT untuk pekerjaan tertentu dapat menghilangkan adanya masa jeda. Dengan catatan hal ini telah dituangkan dalam perjanjian kerjanya.[14] Adapun klausulnya dapat dibaca pada contoh berikut ini :
(1)  Dalam hal suatu kondisi tertentu pekerjaan Proyek belum selesai dan diperpanjang oleh Pemberi Proyek maka PIHAK KESATU dan PIHAK KEDUA sepakat untuk melakukan Pembaruan Perjanjian ini dengan meniadakan persyaratan jeda waktu selama 30 (tiga puluh) hari, yang selanjutnya akan dituangkan dalam Pembaruan Perjanjian tersendiri.

(2)  Pembaruan Perjanjian sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, akan diberitahukan oleh PIHAK KESATU secara tertulis kepada PIHAK KEDUA selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sebelum berakhirnya Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

(3)  Dalam hal PIHAK KEDUA tidak berkehendak untuk melakukan Pembaruan Perjanjian sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, maka selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini, maka PIHAK KEDUA wajib memberitahukan secara tertulis kepada PIHAK KESATU.

2.8.   Berakhirnya PKWT
Berakhirnya PKWT diatur dalam Pasal 61 Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dari ayat (1) sampai ayat (5) yaitu :
(1)    Perjanjian kerja berakhir apabila :   

a.  pekerja meninggal dunia;
b.  berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c.  adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d.  adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama  yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

(2)    Perjanjian kerja  tidak  berakhir  karena  meninggalnya  pengusaha  atau   bera­lihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan,  atau hibah.
    
(3)    Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi  hak-hak pekerja/buruh.   

(4)    Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.

(5)    Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak‑haknya sesuai dengan peraturan perundang‑undangan  yang berlaku atau hak‑hak yang telah diatur dalam perjanjian  kerja,  peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.     

2.9.   Ganti Rugi

Adapun ketentuan ganti rugi diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang 13 tahun 2003 yang berbunyi :
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1),  pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan  membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Dalam prakteknya Pasal ini sering menyulitkan pekerjaa, lebih-lebih jika pekerja tersebut diterima pada Perusahaan lain dalam masa kontrak kerja. Maka mau tidak mau yang bersangkutan wajib membayar sisa kontrak kerja yang harus diselesaikannya.
Misalnya Haryanto bekerja pada PT A dari tanggal 01 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2012 dengan upah sebesar Rp. 5.000.000.
Namun pada tanggal 01 Juli, Haryanto diterima di PT B, maka ia mengajukan permohonan pengunduran diri kepada PT A. Dalam kondisi seperti ini maka Haryanto harus membayar kepada PT A sebesar 6 x Rp. 5.000.000 atau Rp. 30.000.000.
Hal ini tentu sangat menyulitkan pekerja. Karena itu sesuai asas kebebasan kontrak, pekerja dapat merundingkan hal ini dengan pengusaha agar meniadakan klausul ganti rugi.
Namun konsekuensinya, bila Pengusaha memutuskan perjanjian kerja dalam masa kontrak, pengusaha juga tidak berkewajiban membayar ganti rugi.
Inilah yang disebut asas keseimbangan antara pepekerja dengan pengusaha.

2.10. Pencatatan PKWT
Pencataan PKWT diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasal 13 dan 14 yang berbunyi :
“PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan.” (Pasal 13)
Untuk perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 maka yang dicatatkan adalah daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).” (Pasal 14).
Namun dalam prakteknya jarang sekali Pengusaha mendaftarkan perjanjian kerjanya kepada Suku Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi atau Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi.
Karena hal ini hanyalah masalah administratif yang tidak memiliki dampak hukum. Selain juga secara perdata perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang menyepakatinya. Sehingga peran pihak ketiga tidak terlalu signifikan.
Walaupun maksudnya adalah baik yaitu dalam rangka tertib administrasi dan untuk melindungi posisi pekerja dari kesewenang-wenangan Pengusaha.
























BAB III
JENIS-JENIS PKWT
    
     Jenis-jenis PKWT dapat dibedakan menjadi PKWT Untuk Pekerjaan Yang Sekali Selesai Atau Yang Sementara Sifatnya Yang Penyelesaiannya Paling Lama 3 (Tiga) Tahun, PKWT Untuk Pekerjaan Musiman, PKWT Untuk Pekerjaan Yang Berhubungan Dengan Produk Baru, PKWT Untuk Pekerjaan Tertentu dan PKWT Harian Lepas.
           
3.1.   PKWT Untuk Pekerjaan Yang Sekali Selesai Atau Yang Sementara Sifatnya Yang Penyelesaiannya Paling Lama 3 (Tiga) Tahun

     Dalam undang-undang tidak dijelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 tahun. Yang ada adalah penjelasan sebaliknya. Yaitu penjelasan tentang pekerjaan yang sifatnya tetap sebagaimana telah diuraikan pada bab II.
     Untuk melihat hal ini maka harus dilihat secara seksama jasa atau produk yang ada pada perusahaan tersebut. Jika jasa atau produknya sudah ada sejak lebih dari tiga tahun maka tentunya tidak memenuhi syarat ini. Lain halnya jika jasa/produk tersebut terkait dengan proyek atau pekerjaan tertentu.
     PKWT untuk jenis ini dapat diperpanjang dan diperbarui setelah dilakukan jeda minimal 30 hari kalender. Asalkan tetap memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU 13 Tahun 2003.


3.2.   PKWT Untuk Pekerjaan Musiman


Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi obyek perjanjian kerja waktu tertentu.[15]
Jenis pekerjaan ini harus memenuhi syarat : (1) Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca. (2) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu.[16]
Dan (1) Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman. (2) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.[17]
Pengusaha yang mempekerjaan pekerja/buruh berdasarkan PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus membuat daftar nama pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.[18] Serta PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat dilakukan pembaharuan.[19]
Contohnya adalah pekerjaan pengemudi untuk mengangkut durian pada musim durian. Atau pengepak duku pada musim duku. Atau kuli panggul jagung pada musim panen jagung.
PKWT ini juga dapat digunakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap namun dalam pelaksanaannya terjadi penambahan tenaga diluar perencanaan tenaga kerja yang telah ditetapkan oleh Perusahaan.
Misalnya tahun 2011, PT A yang bergerak di bidang surveyor telah menganggarkan 100 pegawai untuk jabatan Inspektor. Namun dalam bulan tertentu pada tahun 2011 tiba-tiba terjadi penambahan volume pekerjaan sehingga membutuhkan tambahan 50 inspektor. Atau ada tambahan pesanan dari pelanggan. Maka tambahan 50 orang ini dapat menggunakan PKWT musiman.
PKWT pada jenis ini tidak dapat dilakukan perpanjangan dan juga pembaruan perjanjian kerja.


3.3.   PKWT Untuk Pekerjaan Yang Berhubungan Dengan Produk Baru

     PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru harus memenuhi syarat sebagai berikut :
(1) PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun.
(3) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan pembaharuan.[20]
     PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya boleh diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.[21]
     Jadi produk atau jasa yang dikerjakan oleh pekerja adalah produk baru yang belum pernah dipasarkan atau diproduksi selama ini. Misalnya sebuah perusahaan jamu sebelum tahun 2011 telah memiliki produk A sampai dengan G. Lalu pada tahun 2012 mengembangkan produk H dan I. Maka produk H dan I tersebut dapat menggunakan tenaga PKWT.
     Untuk PKWT jenis ini hanya dapat diperpanjang, namun tidak dapat diperbarui. Jangka waktunyapun hanya 2 tahun. Sehingga pola kontrak yang mungkin adalah 1 tahun kemudian diperpanjang 1 tahun. Atau 2 tahun sekaligus tanpa perpanjangan. Atau 1,5 tahun kemudian ½ tahun. Atau 1,2 tahun kemudian 0,8 tahun dan seterusnya.


3.4.   PKWT Untuk Pekerjaan Tertentu

     PKWT untuk pekerjaan tertentu atau yang sering disebut PKWT proyek harus memenuhi syarat sebagai berikut :
     1) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun.
(3) Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saaat selesainya pekerjaan.
(4) Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
(5) Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT.
(6) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
(7) Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.
(8) Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) yang dituangkan dalam perjanjian.[22]

3.5.   PKWT Harian Lepas

     PKWT harian lepas harus memenuhi syarat sebagai berikut :
(1) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu ) hari dalam 1 (satu)bulan.
(3) Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.[23]
Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya.[24]
Selanjutnya (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.
(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat :
  1. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.
  2. nama/alamat pekerja/buruh.
  3. jenis pekerjaan yang dilakukan.
  4. besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.
(3) Daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak mempekerjakan pekerja/buruh.[25]
Berdasarkan ketentuan di atas maka perjanjian kerja harian lepas dapat dibuat dalam bentuk perjanjian kerja PKWT pada umumnya   dengan ketentuan memenuhi syarat materiil dan formil atau dalam bentuk daftar.
Hubungan antara jenis perjanjian kerja, perpanjangan perjanjian kerja dan pembaruan perjanjian kerja dan total waktu maksimal dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Jenis Perjanjian kerja
Perpanjangan
Pembaruan
Total Waktu Maksimal
PKWT Untuk Pekerjaan Yang Sekali Selesai Atau Yang Sementara Sifatnya Yang Penyelesaiannya Paling Lama 3 (Tiga) Tahun
Dapat
Dapat
5 tahun
Tidak dapat
Tidak dapat
1 musim
PKWT Untuk Pekerjaan Yang Berhubungan Dengan Produk Baru
Dapat
Tidak dapat
2 tahun
PKWT Untuk Pekerjaan Tertentu
Tidak dapat
Dapat
3 tahun
PKWT Harian Lepas

Tidak dapat
Tidak dapat
20 hari per bulan dan kurang dari 3 bulan


BAB IV
AKIBAT HUKUM KESALAHAN PKWT

     Pada intinya akibat hukum dalam PKWT hanya satu. Yaitu berubahnya hubungan kerja dari PKWT menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) sejak terjadinya kesalahan. Baik kesalahan materiil yang terkait dengan pekerjaannya maupun kesalahan formil yang terkait dengan waktunya atau perpanjangannya atau pembaruan atau masa jedanya. Untuk kesalahan materiil dihitung sejak adanya kesalahan materiil yaitu sejak adanya hubungan kerja. Sedangkan untuk kesalahan formil dihitung sejak terjadinya kesalahan formil.
     Namun dalam prakteknya untuk membuktikan kesalahan ini sangat sulit, apalagi bila pengusaha tetap bersikukuh dengan keyakinannya bahwa pengusaha merasa tidak bersalah. Maka jalan penyelesaiannya menjadi sangat panjang dan melelahkan yaitu melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Apalagi dalam proses ini yang dipegang adalah kebenaran formil. Yaitu kebenaran berdasarkan alat-alat bukti, khususnya alat bukti tertulis. Maka dalam posisi ini pekerja sangat kesulitan dalam membuktikannya. Sebab biasanya pekerja tidak memiliki akses yang cukup untuk mendapatkan alat-alat bukti secara tertulis.

4.1. Perubahan PKWT Menjadi PKWTT
     Ada sekitar    permasalahan yang harus diwaspadai oleh pengusaha agar tidak melakukan kesalahan dalam melakukan hubungan kerja dengan pola PKWT yaitu :

1.    Karena PKWT dibuat dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa latin. Misalnya dibuat dalam bahasa inggris saja. Atau dibuat dengan bahasa arab, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.[26]

Contohnya Ahmad dikontrak oleh PT X sebagai Pegawai dengan status PKWT sejak tanggal 01 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2013 dengan menggunakan bahasa Arab saja. Maka status Ahmad berubah menjadi PKWTT sejak tanggal 01 Januari 2011.

Agar tidak terjadi kesalahan maka PT X dapat membuat PKWT Ahmad dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa arab.
2.    Karena PKWT musiman digunakan untuk pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan cuaca atau musim tertentu, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.[27]

Contohnya Budi bekerja pada PT Buah Segar sebagai kasir dengan pola PKWT untuk periode 01 Maret 2010 sampai dengan 28 Februari 2011. Maka hubungan kerja Budi berubah menjadi PKWTT sejak tangga 01 Maret 2010.

3.    Karena PKWT musiman digunakan untuk pekerjaan yang bukan pekerjaan tambahan. Misalnya untuk pekerjaan rutin, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.[28]

Contohnya Amir bekerja pada PT Ribut Terus sebagai akunting dengan pola PKWT untuk periode 01 April 2011 sampai dengan 31 Desember 2011, maka hubungan kerja Amir burubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.

Lain halnya jika posisi akunting tersebut terkait dengan adanya pesanan tambahan di luar rencana kerja yang telah ditetapkan dalam RKAP. Maka posisi tersebut dapat menggunakan hubungan kerja dengan pola PKWT musiman.

4.    Karena PKWT untuk produk baru menyalahi syarat formil. Yaitu kontrak pertamanya lebih dari dua tahun. Atau perpanjangannya perjanjian kerjanya lebih dari satu tahun. Maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya kesalahan formil.[29]

Contohnya Ronaldo bekerja pada perbankan sebagai tenaga analis kredit untuk jasa baru pada PT Bank Sentosa dengan kontrak awal selama 2 tahun terhitung sejak tanggal 01 Maret 2008. Lalu diperpanjang mulai tanggal 01 Maret 2010 sampai dengan 30 Juni 2011. Maka sejak tanggal 01 Maret 2011 hubungan kerja Ronaldo berubah menjadi PKWTT. Lain halnya jika perpanjangannya sampai dengan 28 Februari 2011, maka PKWT berjalan sebagaimana adanya dan berakhir demi hukum pada tanggal 28 Februari 2011.

5.    Karena PKWT untuk produk baru menyalahi syarat formil. Yaitu setelah diperpanjang kemudian dilakukan pembaruan perjanjian kerja. Maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya kesalahan formil.[30]

Contohnya Ronaldo bekerja pada perbankan sebagai tenaga analis kredit untuk jasa baru pada PT Bank Sentosa dengan kontrak awal selama 2 tahun terhitung sejak tanggal 01 Maret 2008. Lalu diperpanjang mulai tanggal 01 Maret 2010 sampai dengan 28 Februari 2011. Kemudian dilakukan jeda selama 30 hari dan selanjutnya dilakukan pembaruan perjanjian kerja selama 2 tahun  mulai tanggal 01 April 2011. Maka PKWT Ronaldo berubah menjadi PKWTT terhitung sejak tanggal 01 April 2011.

Agar tidak terjadi pelanggaran maka PKWT Ronaldo tidak perlu dijeda dan dilakukan pembaruan atau dengan kata lain berakhir demi hukum dengan sendirinya pada tanggal 28 Februari 2011.

6.    Karena PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 tahun ketika dilakukan pembaruan tidak didahului dengan jeda selama minimal 30 hari setelah perpanjangan PKWT atau tidak diperjanjikan lain untuk PKWT pekerjaan tertentu (proyek, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak terjadinya kesalahan.[31]

Contohnya Adi bekerja pada PT Cahaya yang bergerak di bidang penjualan alat-alat listrik yang baru berdiri pada Januari 2008 sebagai tenaga teknisi elektrik dengan PKWT mulai tanggal 01 Januari 2008 s/d 31 Desember 2009, kemudian diperpanjang satu tahun sampai tanggal 31 Desember 2010. Kemudian Adi dijeda selama 14 hari, lalu PKWTnya diperbarui mulai tanggal 15 Januari 2011 sampai dengan 14 Januari 2013.

Karena dalam pembaruannya tidak didahului dengan masa jeda minimal 30 hari, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tanggal 15 Januari 2011. Agar tidak terjadi kesalahan maka PKWT Adi seharusnya dijeda selama minimal 30 hari mulai tanggal 01 Januari 2011 sampai dengan 31 Januari 2011, kemudian diperbarui sejak tanggal 01 Februari 2011 sampai dengan tanggal 31 Januari 2013.

Contoh lainnya Andi bekerja pada PT Sinar dengan PKWT untuk pekerjaan tertentu dalam proyek BP Migas periode 01 Maret 2010 sampai dengan 28 Februari 2012 atau sampai dengan berakhirnya proyek BP Migas tersebut.

Namun karena pekerjaan belum selesai BP Migas memperpanjang proyeknya hingga akhir tahun 2012. Untuk itu maka PT Sinar langsung melakukan pembaruan PKWT Andi sampai dengan 31 Desember 2012 tanpa melalui masa jeda. Dan setelah dikaji ternayata pada PKWT Andi tidak ada aturan yang meniadakan masa jeda dalam PKWTnya bila proyek belum selesai. Berdasarkan fakta tersebut maka PKWT Andi berubah menjadi PKWTT sejak tanggal 01 Maret 2012.

Agar PKWT Andi tidak melanggar ketentuan, seharusnya PT Sinar mencantumkan klausul tentang peniadaan waktu jeda dalam PKWT proyek tersebut. Sehingga apabila tiba-tiba ada perpanjang proyek dari BP Migas, PT Sinar dapat langsung melakukan pembaruan PKWT Andi tanpa melalui masa jeda.


4.2. Penyelesaian Kasus PKWT Menjadi PKWTT

     Lalu bagaimana cara penyelesaian kasus PKWT menjadi PKWTT? Pada Pasal 15 ayat (5) Kepmenakertrans 100/MEN/VI/2004 dinyatakan maka hak-hak pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi PKWTT.
Secara rinci penyelesaian ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Republik Indonesia Nomor PER.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit.
Yang secara garis besar dimulai dengan penyelesaian secara bipartit antara perusahaan dengan pekerja. Bila tidak selesai dapat dilanjutkan melalui mekanisme tripartit, bisa melalui Mediator, Konsiliator atau Arbiter sesuai dengan kewenangannya.
Bila tidak selesai juga, maka dapat dilanjutkan melalui pengadilan hubungan industrial. Dalam pengadilan ini digunakan hukum acara perdata. Mulai dari gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan dan putusan.
Namun sebaiknya kedua belah pihak menyelesaikan permasalahan ini secara bipartit. Yaitu melalui musyawarah kekeluargaan diantara pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha. Karena penyelesaian melalui pengadilan memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Sehingga hal ini tentu saja sangat membebani kedua belah pihak.


    






Riwayat Hidup Penulis

1. Haryanto
Haryanto lahir 43 tahun yang lalu di kota Magelang Jawa Tengah. Ia menamatkan SD-nya di SDN jambewangi Magelang. Lalu meneruskan ke SMP Persatuan Mertoyudan Magelang. Dan menyelesaian SMA-nya di SMAN Kotamungkid Magelang.
Selanjutnya kuliah di IKIP Jakarta jurusan Pendidikan Matematika lulus pada tahun 1989. Setelah itu bekerja sebagai guru Matematika di SMA At Taqwa Bekasi. Tahun 1990-1992 ia menjadi guru privat dan mendirikan serta mengelola bimbingan belajar Widya Utama. kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia lulus tahun 2004.
Tahun 1992 ia diterima bekerja di PT SUCOFINDO (Persero). Lebih kurang 18 tahun lamanya menangani berbagai tugas yang berkaitan dengan pengelolaan Sumber Daya Manusia. Mulai dari jabatan fungsional, pendidikan dan latihan, rekrutmen, pengembangan karir dan hubungan industrial. Dengan jabatan saat ini sebagai Industrial Relation Manager.
Pernah aktif menulis di berbagai media. Diantaranya Republika, Suara Karya dan Harian Pelita. Buku pertamanya yaitu ”Indonesia Negeri Judi?”, “Rasulullah Way Managing People”, “Muslim Tanpa Embel-Embel” dan “Energi Ayat Kursi.” Serta buku yang ada di tangan pembaca, “Kupas Tuntas PKWT.”
Haryanto menikah dengan seorang istri bernama Merici Sulastri dan dikarunia tiga orang anak yang kini  duduk di bangku kelas 9 SMP dan kelas 1 SMP serta balita usia 2 tahun. Yaitu Sarah Salsabila, Farhan Izzatul Ulya dan Muhammad Nashri Azzam.  

2.  Agus Suharmanu




    



Daftar Bacaan

n  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

n  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1956 tanggal 29 Agustus 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 Mengenai Berlakunya Dasar-Dasar Daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama.

n  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 tanggal 12 Januari 1970 tentang Keselamatan Kerja.

n  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tanggal 4 Agustus 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh.

n  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

n  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

n  Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tanggal 5 Juni 1998 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi.

n  Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-05/MEN/1996 tanggal 12 Desember 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

n  Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-233/MEN/VI/2003 tanggal 31 Oktober 2003 tentang Jenis Dan Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Secara Terus Menerus.

n  Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-48/Men/IV/2004 Jo Permenakertrans Nomor 08/2006  tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.

n  Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-100/Men/VI/2004 tanggal 21 Juni 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 

n  Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-101/Men/VI/2004 tanggal 21 Juni 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia  Jasa Pekerja/Buruh.

n  Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 102/MEN/VI/2004 tanggal 25 Juni 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.

n  Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-220/Men/VI/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.  

n  Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Republik Indonesia Nomor PER.31/MEN/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit.

n  Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.32/MEN/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit.

n  Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor SE-04/M/BW/1996 tanggal 8 Januari 1996 tentang Larangan Diskriminasi Bagi Pekerja Wanita Dalam Peraturan Perusahaan Atau Kesepakatan Kerja Bersama.

n  Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materiil UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945.

n  Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor SE.907/MEN-/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal.

n  Hadi Setia Tunggal, Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Harvarindo(Jakarta:2008).

n  F. X. Djumialdji, S.H., Perjanjian Kerja, Bumi Aksara (Jakarta:1992).

n  I. G. Rai Widjaya, S.H., M.A., Merancang Suatu Kontrak : Teori dan Praktek, Kesaint Blanc (Jakarta:2003).

n  Iman Soepomo, Prof., Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan (Jakarta:2001).

n  Iman Soepomo, Prof., Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan (Jakarta:2003).

n  Zainal Asikin, S.H., SU., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajagrafindo Persada (Jakarta:2002).

n  Henry Simamora,  Manajemen Sumber Daya Manusia, STIE YKPN, (Yogyakarta :1995.

n  HRD Consortium, Effective Competency Based Interviewing Techniques, bahan Pelatihan, Jakarta, 2004.

n  Ratna Jatnika., Lokakarya Manajemen SDm Berbasis Kompetensi, Bahan pelatihan, Sinergi (Bandung:2005).

n  Joko Siswanto, DR., Materi Pelatihan SDM, Manajemen SDM Berbasis Kompetensi.

n  ______, Lokakarya Implementasi Manajemen SDM Berbasis Kompetensi, Sinergi (Bandung:2003).

n  Spencer, M. Lyle, Competence At Work, John Wiley & Sons (Canada:1993).

n  Dan berbagai materi pelatihan lainnya.



[1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun  tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 15.
[2] Ibid angka 30.
[3] Ibid angka 3
[4] Ibid angka 4
[5] Ibid angka 5
[6] KUH Perdata, Pasal 1338
[7] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Pasal 1 angka 1.
[8] UU 13 tahun 2003, penjelasan Pasal 59 ayat (2).
[9] UU 13 Tahun 2003,  Pasal 57
[10] Pasal 54 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[11] UU 13 Tahun 2003,  Pasal 62
[12] Pasal 58 UU 13 Tahun 2003
[13] Penjelasan Pasal 59 ayat (2) UU 13 Tahun 2003.
[14]Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ,Pasal 3 ayat (8)
[15] UU 13 Tahun 2003, Penjelasan Pasal 59 ayat (2).
[16] Kepmenakertrans Nomor 100/MEN/VI/2004, Pasal 4.
[17] Ibid Pasal 5.
[18] Ibid Pasal 6.
[19] Ibid Pasal 7.
[20] Kepmenakertrans 100/MEN/VI/2004, Pasal  8.
[21] Ibid Pasal 9.
[22] Ibid Pasal 3.
[23] Ibid Pasal 10.
[24] Ibid Pasal 11.
[25] Ibid Pasal 12.
[26] Ibid Pasal 15 ayat (1).
[27] Ibid Pasal 15 ayat (2).
[28] Ibid Pasal 15 ayat (2).
[29] Ibid Pasal  15 ayat (3).
[30] Ibid Pasal  15 ayat (3).
[31] Ibid Pasal 15 ayat (4)

No comments: