Translate

Mencari Artikel

FIND(Mencari)

Monday 17 June 2013

Malam Seribu Bulan

Lailatul-Qadar
Keutamaan Lailatul-Qadar sangat besar, karena pada malam itulah diturunkannya Al-Qur’an Al-Kariim yang membimbing manusia yang berpegang kepadanya kepada jalan kemuliaan dan kehormatan, mengangkatnya ke puncak ketinggian dan keabadian.
1.       Keutamaan Malam Lailatul-Qadar
Tanda kebesaran dan keagungan Lailatul-Qadar adalah bahwa malam itu merupakan malam yang penuh berkah yang lebih baik daripada seribu bulan.  Allah ta’ala telah berfirman :
إِنّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مّبَارَكَةٍ إِنّا كُنّا مُنذِرِينَ
Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan” (QS. Ad-Dukhaan : 3).

وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ *  لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Dan tahukah kamu apakah malam lailatul-qadar itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan” (QS. Al-Qadr : 2-3).
Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa amalan di malam Lailatul-Qadar (yang penuh barakah) itu menyamai pahala amal seribu bulan yang tidak ada Lailatul-Qadarnya.  Seribu bulan setara dengan 83 tahun lebih.  Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk berusaha mencari malam tersebut dengan sabdanya :
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Barangsiapa yang mendirikan ibadah (pada malam) Lailatul-Qadar karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 1802 dan Muslim no. 759).
Allah mensifati malam itu dengan malam keselamatan/kesejahteraan, sebagaimana firman-Nya :
سَلاَمٌ هِيَ حَتّىَ مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al-Qadr : 5).
Ini menunjukkan kemuliaan, kebaikan, dan keberkahannya.  Orang yang terhalangi dari kebaikan malam itu berarti terhalangi dari kebaikan yang sangat banyak.  Inilah keutamaan-keutamaan yang besar pada malam yang penuh barakah ini.
Pada malam ini kita diperintahkan untuk banyak-banyak berdoa dengan doa :
اللّهُـمَّ إِنَّكَ عَفُوّ ٌ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ
[Alloohumma innaka ‘afuwun tuhibbul-‘afwa fa’fu’annii]
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, menyukai maaf, maka berilah maaf kepadaku” (HR. Tirmidzi no. 3513; Ibnu Majah no. 3850; Ahmad no. 25423,25534,25536,25544,25782; Al-Hakim no. 1942, An-Nasa’i dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 878. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 3/259 no. 3119 dan Misykatul-Mashaabih 1/353) [1].
2.       Waktu Terjadinya Malam Lailatul-Qadar
Lailatul-Qadar terjadi pada malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan.  Ada beberapa hadits shahih yang menyebutkan tentang hal ini, seperti malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadlan[2].  Imam Asy-Syafi’i berkata,”Ini menurut saya, wallaahu a’lam, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab sesuai dengan pertanyaannya.  Dan pendapat yang paling kuat bahwa itu terjadi pada malam-malam yang ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari Aisyah radliyallaahu ‘anhaa bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan dan beliau mengatakan :
تحروا ليلة القدر في الوتر من العشر الأواخر من رمضان
Carilah Lailatul-Qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan” (HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim 1169) [3] .  Silakan membuka Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang menyebutkan beberapa hadits dimaksud.
3.       Tanda-Tanda Lailatul-Qadar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan kepada kita tentang beberapa tanda yang mengisyaratkan terjadinya Lailatul-Qadar.  Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ubay radliyallaahu ‘anhu ketika ia menjawab tanda-tanda Lailatul-Qadr yang diberitakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أن تطلع الشمس في صبيحة يومها بيضاء لا شعاع لها
Matahari terbit di pagi harinya tampak putih tanpa cahaya yang menyinari (redup, tidak panas)” (HR. Muslim no. 762).
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ليلة القدر ليلة سمحة ، طلقة ، لا حارة ، ولا باردة ، تصبح الشمس صبيحتها ضعيفة حمراء
Lailatul-Qadar merupakan malam penuh kelembutan, cerah, tidak panas, dan tidak dingin.  Matahari di pagi harinya menjadi nampak lemah lagi nampak kemerah-merahan” (HR. Ath-Thayalisi no. 349, Ibnu Khuzaimah no. 3/231,dan  Al-Bazzar 1/486; dengan sanad hasan. Lihat Shahihul-Jaami’sh-Shaghiir no. 5475 oleh Syaikh Al-Albani).
4.       Beribadah di Malam Lailatul-Qadar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila telah memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan, beliau semakin giat dan khusyuk dalam beribadah.  Beliau kencangkan ikat pinggangnya dan beri’tikaf di dalam masjid.  Tidaklah beliau keluar dari masjid kecuali untuk menunaikan hajatnya saja.
Mari kita simak beberapa hadits berikut :
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata :
كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر شد مئزره وأحيا ليله وأيقظ أهله
Apabila memasuki sepuluh (malam terakhir di bulan Ramadlan), Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengencangkan ikatan kainnya, [4] menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya (istri-istrinya)” (HR. Bukhari no. 1920 dan Muslim no. 1174).
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجتهد في العشر الأواخر مالا يجتهد في غيره
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh di sepuluh malam terakhir (pada bulan Ramadlan) yang tidak beliau lakukan di saat-saat lain” (HR. Muslim no. 1175).
Maka selayaknyalah kita sebagai ummat beliau untuk meneladani beliau dalam menghidupkan bulan Ramadlan, khususnya sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan dengan ibadah-ibadah, seperti : I’tikaf, membaca Al-Qur’an dan berusaha menghafalnya, mempelajari hadits dan kandungan-kandungannya, dan lain-lain.  Tidak selayaknya kita habiskan waktu malam dan siang kita hanya dengan tidur dan makan.



[1]       Adapun tambahan Kariim sesudah kalimat Alloohumma innaka ‘afuwun adalah tambahan yang tidak ada asalnya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
[2]       Berbagai macam pendapat tentang hal ini saling berbeda dan cukup beragam.  Imam Al-‘Iraqi mengarang sebuah risalah tersendiri yang berjudul Syarhush-Shadr bi Dzikri Lailatil-Qadr.  Ia mengumpulkan di dalamnya pendapat para ulama dalam masalah ini.
[3]       Seperti yang dinukil oleh Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah.
[4]       Maksudnya meninggalkan hubungan badan dengan istrinya untuk beribadah serta berusaha keras mencari Lailatul-Qadar.

No comments: