III. 9 Perlunya Kerjasama
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ
وَلَا آَمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ
عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ
”Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar
kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya
dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.”(Al Maaidah 5:2).
Penulis teringat dengan semboyan Syaikh rasyid Ridha yang
menyatakan, ”Bekerjasama dalam hal-hal yang telah disepakati dan saling
toleransi dalam hal-hal yang belum disepakati.”
Namun semboyan tersebut
menjadi kritikan yang tajam ketika yang berbicara adalah Syaikh Hasan Al Bana.
Berbagai tulisan mengkrtitik semboyan tersebut. Namun ujungnya adalah ejekan, hujatan
dan cemoohan kepada pribadi beliau.
Padahal jika kita mau
berfikir sejenak dengan kepala jernih di saat umat dalam kondisi lemah seperti
saat ini. Kita akan menyimpulkan bahwa semboyan Syaikh Rasyid Ridha tersebut
adalah sebuah ide yang sangat brilyan. Ide ini juga memiliki dalil naqli dan
aqli yang kokoh.
Karena dalam sejarah Nabi
Saw. Nabi pernah bekerjasama atau minta tolong kepada pamannya yang musyrik
yaitu Abu Thalib untuk menghadapi musyrik lainnya yang memusuhinya.[1]
Nabi pernah minta tolong kepada pemuka-pemuka thaif, namun kemudian dilempari
batu. Nabi juga melakukan kerjasama dengan raja Najasyi yang mu’allaf untuk
memberikan perlindungan kepada sahabat-sahabatnya.
Nabi pernah kerjasama dengan
Yahudi sebelum mereka berkhianat yang kemudian dituliskan dalam bentuk
perjanjian Medinah. Dalam perjanjian tersebut jelas-jelas termaktub kesepakatan
dan kerjasama untuk saling melindungi dan tolong menolong dalam menjaga
keamanan dan memajukan Medinah.
Sehingga para ulama
menyimpulkan bahwa dibolehkan minta tolong kepada kafir pasif untuk menghadapi
kafir aktif (harbi). Lebih-lebih jika kita minta tolong dan bekerjasama dengan
muslim lainnya. Sekalipun ia bermaksiyat atau ahli bid’ah untuk menghadapi
orang-rang kafir yang memusuhi kita.
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ
لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
”Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.(Al Anfaal 8:61).
Jadi tidak ada salahnya bila kaum
muslimin saling tolong menolong dalam kebajikan dan takwa. Bahkan ada ulama
yang memperbolehkan minta tolong kepada kafir harbi, AS untuk melawan muslim
yang zhalim yaitu Saddam Husein.
Apalah lagi minta tolong kepada
saudara-saudara kita muslim lainnya yang berbeda logo, simbol, bendera, jama’ah
atau syaikh. Tentu hal ini lebih boleh lagi. Selama yang dilakukan adalah dalam
ragka kebajikan dan taqwa. Jadi tidak ada salahnya minta tolong kepada pencuri
untuk melawan perampok. Atau minta tolong preman untuk melawan penodong.
Karena itu amat disayangkan jika
Negara-negara Eropa yang berlainan ideologi saja dapat bersatu dan tolong
menolong dalam satu bendera Uni Eropa. Sementara kita, kaum muslimin yang
memiliki ideologi, akidah dan tauhid yang sama tidak mau dan tidak bisa
bekerjasama dan gotong royong.
Salah satu kuncinya adalah dengan
mendengarkan dan memahami pihak lainnya. Bertemu dan berkumpul untuk membahas
agenda bersama. Bahkan jika dimungkinkan dibentuk sekretariat bersama untuk
menyatukan langkah, strategi dan program kerja. Jangan hanya mau didengarkan
tapi tidak mau mendengarkan. Jangan hanya mau ustadz atau syaikh atau kyainya
yang ngajar sementara ustad atau syaikh atau kyai dari lembaga lain tidak boleh
ngajar atau difatwakan tidak boleh didengarkan atau dihadiri pengajiannya.
[1]Sebagian
Habaib menyatakan beliau meninggal dalam keadaan muslim, namun beliau
menyembunyikan , tapi pendapat mayoritas menyatakan dalam keadaan tidak beriman
No comments:
Post a Comment