1.1.
Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya Perjanjian
secara umum diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Yang berbunyi :
“Syarat sahnya perjanjian
diperlukan empat syarat :
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
kecakapan untuk melakukan peri katan;
3.
suatu hal tertentu;
4.
suatu
sebab yang halal.”
Syarat nomor 1 (satu) dan nomor 2 (dua) dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orang atau subjek yang mengadakan
perjanjian, sedangkan syarat nomor 3 (tiga) dan nomor 4 (empat) dari syahnya suatu perjanjian kerja tersebut
dinamakan syarat obyektif, karena
mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan
itu.
Dalam hal suatu syarat subyektif itu tidak terpenuhi, maka perjanjian itu
dapat dibatalkan, artinya salah satu
pihak mengajukan pembatalan ke Pengadilan Negeri. Dalam hal suatu syarat
obyektif itu tidak terpenuhi, maka perjanjiannya batal demi hukum artinya dari
awal tidak pernah ada perjanjian.
Contoh syarat subjektif adalah perjanjian kerja yang dibuat oleh anak-anak.
Maka walinya dapat meminta pembatalan ke pengadilan.
Sedangkan contoh syarat objektif adalah perjanjian kerja untuk melakukan
perbuatan yang melanggar hukum. Maka secara
otomatis perjanjian dianggap tidak ada karena bertentangan dengan ketentuan yang
berlaku. Misalnya perjanjian kerja di
perusahaan yang mengedarkan narkoba secara ilegal.
Sedangkan
berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b.
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan
hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang‑undangan yang
berlaku.
Kemudian
ayat selanjutnya menyatakan : (2) Perjanjian
kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan. Ayat (3)menyatakan
Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum. Selanjutnya
perjanjian yang telah disepakati tersebut menjadi undang-undang bagi kedua
belah pihak. Dimana kedua belah pihak harus mematuhinya. Perjanjian ini tidak dapat
ditarik kembali kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan
undang-undang. Untuk itu maka perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.[1]
Dalam hal tertentu perjanjian
dapat diubah yaitu dengan cara melakukan amandemen jika ada perubahan atau dengan
addendum jika terdapat penambahan isi perjanjian.
No comments:
Post a Comment