II.4. Dibolehkannya Keragaman
Salah satu rahmat dalam
Islam adalah dibolehkannya keragaman dalam masalah-masalah fiqih atau
furu’iyyah. Sejarah membuktikan bahwa sejak zaman Nabi SAW telah terjadi
perbedaan pendapat. Namun karena perbedaan tersebut dilandasi dengan aqidah
yang benar, akhlak yang baik dan ukhuwwah yang kuat, perbedaan tersebut tidak
membawa kepada permusuhan, sebagaimana yang terjadi pada berbagai kelompok,
organisasi dan jama’ah pada masa kini.
Pada masa Nabi SAW pernah terjadi perbedaan pendapat yang
berkaitan dengan masalah sholat ‘asar. Dalam haditsnya Rasulullah SAW bersabda,
“Janganlah kalian sholat kecuali di bani Quraizhah”. (HR Bukhari dan HR
Muslim). Tapi apa yang terjadi? Ternyata sampai matahari tenggelam, kaum
muslimin belum tiba di bani Quraizhah.
Akhirnya terjadi dialog diantara para sahabat. Dimana sebagian mereka
melaksanakan sholat ‘asar. Sementara yang lain menangguhkannya hingga tiba di
perkampungan bani Quraizhah. Namun setelah mendengarnya Rasulullah SAW ternyata
tidak menyalahkan salah satu diantara dua pendapat tersebut. Menanggapi adanya
perbedaan para ahli fikih yang menyatakan bahwa sholat di perjalanan lebih
utama dari pada sholat di bani Quraizhah sementara yang lain menyatakan
sebaliknya, DR. Thaha Jabir berkata, ”Menurut hemat
saya selama Rasulullah tidak menyatakan kekeliruan salah satu dari dua kelompok
tadi, seharusnya para ahli fikih mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah.”[1]
Dibolehkannya keragaman
tersebut dibuktikan dengan lahirnya madzhab. Yaitu madzhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali. Bahkan ada yang menyatakan hingga 9 atau 13 madzhab. Sebenarnya madzhab tersebut merupakan muara
dari berbagai pendapat para sahabat dalam memahami ajaran Islam.
Sekiranya keragaman itu
terlarang tentu para penguasa dan para ulama akan melarangnya. Tapi
kenyataannya hingga hari ini madzhab tersebut tetap eksis dan hidup hingga
detik ini. Meskipun sebagian kecil orang mengharamkan dan membid’ahkannya. Tapi
anehnya kelompok ini justru membangun madzhab baru yaitu madzhab laa madzhabiyah (Madzhab tidak mau bermadzhab). Yaitu menjadikan
syaikhnya sebagai pengganti imam empat madzhab. Serta men-taqlid-i apa
saja yang datang dari syaikhnya. Padahal ke-salaf-annya, ilmu dan
ketaqwaannya tidak sebanding dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad.
Contoh-contoh keragaman yang
terjadi pada masa sahabat antara lain adalah tentang tempat pemakaman
Rasulullah. Apakah ditempat beliau wafat atau dimakamkan diluar kamarnya yaitu
bersama-sama dengan makam sahabat lainnya. Kemudian tentang pengganti
Rasulullah. Apakah Muhajirin atau Anshar. Bahkan dalam hal ini terjadi
perdebatan yang seru yang hampir-hampir menimbulkan pertumpahan darah.
Demikian halnya dalam
masalah pembagian tanah wilayah yang ditaklukkan. Abu Bakar berpendapat tanah
tersebut dibagi-bagikan kepada seluruh pasukan yang ikut perang. Sementara Umar
berpendapat bahwa tanah itu harus diwakafkan untuk kepentingan bersama.
Dalam memberikan bantuan
kepada kaum dhu’afa. Abu Bakar menghendaki dibagi secara rata. Sementara Umar
menghendaki dibagi secara proporsional sesuai dengan kapasitas dan
kemampuannya.
Dalam hal memerangi orang
yang tidak mau berzakat. Abu Bakar berpendapat agar mereka diperangi sementara
Umar pada mulanya menyatakan tidak perlu diperangi karena mereka telah
mengucapkan dua kalimat syahadat.
Menurut Imam Ibnul Qayyim
ada 100 masalah yang menjadi perbedaan pendapat
antara Umar dan Abdullah Ibnu Mas’ud.[2]
Dan masih banyak lagi perbedaan pendapat yang terjadi diantara para sahabat
dalam masalah fiqih.[3]
Namun ternyata hal tersebut tidak menimbulkan keretakan hati dan hilangnya
ukhuwwah Islamiyyah.
No comments:
Post a Comment