Translate

Mencari Artikel

FIND(Mencari)

Sunday 16 June 2013

Orang Yang Tidak Wajib Puasa

Orang-Orang yang Tidak Diwajibkan Berpuasa
1.       Musafir
Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan jauh sejauh jarak (yang dianggap) safar.  Jarak safar menurut madzhab yang paling kuat (rajih) adalah jarak yang dianggap oleh adat atau masyarakat setempat sebagai safar (Majmu’ Fataawaa, 34/40-50, 19/243).  Orang yang melakukan safar boleh untuk tidak berpuasa sebagaimana firman Allah ta’ala :

فَمَن كَانَ مِنكُم مّرِيضاً أَوْ عَلَىَ سَفَرٍ فَعِدّةٌ مّنْ أَيّامٍ أُخَرَ
Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain” (QS. Al-Baqarah : 184).
Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami yang dia adalah orang yang banyak melakukan puasa, bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Apakah saya berpuasa di waktu safar?”.  Beliau menjawab :
إن شئت فصم وإن شئت فأفطر
Puasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau” (HR. Bukhari no. 1841 dan Muslim no. 1121).
Hadits di atas (dan beberapa lagi hadits lain) menunjukkan diperbolehkannya tidak berpuasa bagi orang yang melakukan safar.  Dan bagi yang berkehendak berpuasa, maka puasa tersebut dilakukan bila ia memang mampu dan diperkirakan tidak membawa mudlarat terhadap dirinya.  Pertimbangan inilah yang terdapat dalam hadits berikut :
ليس من البر الصوم في السفر
Berpuasa di dalam perjalanan bukanlah sebuah kebaikan
(HR. Bukhari no. 1844 dan Muslim no. 1115)
فكانوا يرون أنه من وجد قوة فصام فحسن ومن وجد ضعفا فافطر فحسن
Dan mereka (para shahabat) berpendapat bahwa barangsiapa mempunyai kemampuan, maka berpuasa lebih baik baginya.  Dan barangsiapa yang merasa lemah, maka berbuka lebih baik baginya” (HR. Tirmidzi no. 713 dan Al-Baghawi no. 1763. At-Tirmidzi berkata : Hadits hasan shahih).
Namun secara umum, safar membolehkan berbuka walau orang yang melakukannya tidak merasakan berat, karena hal tersebut merupakan rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin.  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته
Sungguh Allah menyukai dilaksanakan rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan maksiat kepada-Nya” (HR. Ahmad no. 5866 dan Ibnu Hibban no. 2742. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 3/9 no. 564).  Dan keringanan bagi seorang musafir (salah satunya) adalah berbuka (tidak berpuasa).
2.       Orang yang Sakit
Sakit yang menjadikan dibolehkannya seseorang berbuka adalah sakit yang jika ia berpuasa dalam keadaan tersebut akan membahayakan dirinya, menambah sakitnya, atau dikhawatirkan menyebabkan lambatnya kesembuhan. (Lihat Fathul-Baari 8/179, Syarhul-Umdah Kitab Shiyaam karya Ibnu Taimiyyah 1/208-209, Shifat Shaumin- Nabi hal. 59).  Lihat dalilnya dalam firman Allah ta’ala dalam QS. Al-Baqarah ayat 185.
3.       Wanita yang Haidl atau Nifas
Para ulama’ sepakat bahwa wanita yang sedang haidl atau nifas tidak boleh berpuasa, dan keduanya harus berbuka dan mengqadla’ (mengganti)nya di hari yang lain.  Dan bila keduanya berpuasa, maka puasanya tersebut tidak sah.  Lihat pada penjelasan sebelumnya.
4.       Orang yang Lanjut Usia dan Wanita yang Lemah
Allah ta’ala berfirman :
فَمَن كَانَ مِنكُم مّرِيضاً أَوْ عَلَىَ سَفَرٍ فَعِدّةٌ مّنْ أَيّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain.  Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin” (QS. Al-Baqarah : 184).
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma mengatakan,”Dia adalah orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa.  Maka ia berbuka dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari sebanyak setengah sha’ gandum” (HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2/207 dan dishahihkan olehnya).
Jadi, orang yang tidak mampu berpuasa karena usia tua berkewajiban membayar fidyah untuk orang miskin sebagai ganti hari yang ia tinggalkan.  Adapun tentang fidyah, insyaAllah akan dijelaskan kemudian.
5.       Wanita yang Mengandung dan Menyusui
Di antara keagungan rahmat Allah ta’ala kepada hamba-Nya yang lemah adalah pemberian rukhshah (keringanan) untuk berbuka puasa kepada wanita hamil dan menyusui.  Dari Anas bin Malik : Seorang laki-laki dari Bani Abdillah bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu berkata :
أغارت علينا خيل رسول الله صلى الله عليه وسلم فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فوجدته يتغدى فقال ادن فكل فقلت إني صائم فقال ادن أحدثك عن الصوم أو الصيام إن الله تعالى وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة وعن الحامل أو المرضع الصوم أو الصيام والله لقد قالهما النبي صلى الله عليه وسلم كلتيهما أو إحداهما فيا لهف نفسي أن لا أكون طعمت من طعام النبي صلى الله عليه وسلم
Datang kuda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada kami.  Lalu aku mendatangi beliau, dan ternyata aku mendapatkan beliau sedang makan.  Kemudian beliau bersabda,”Mendekatlah dan makanlah”.  Aku menjawab,”Aku sedang puasa”.  Beliau bersabda,”Mendekatlah, akan aku ceritakan kepadamu tentang puasa.  Sesungguhnya Allah ta’ala memberikan keringanan dari setengah shalat bagi seorang musafir, dan memberikan keringanan dari beban puasa bagi wanita hamil dan menyusui”.  Demi Allah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam benar-benar telah mengucapkan keduanya atau salah satunya, dan aku benar-benar berselera untuk makan makanan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” (HR. Tirmidzi no. 715, An-Nasa’i 4/180, Abu Dawud no. 2408, dan Ibnu Majah no. 1667. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 2/64-65 no. 1361 dan Misykatul-Mashaabih 1/344).
Bagi wanita hamil dan/atau menyusui, menurut pendapat yang paling kuat (rajih), bagi mereka hanyalah dibebani membayar fidyah saja tanpa ada kewajiban mengqadla.  Hal ini diperkuat oleh atsar para shahabat, diantaranya adalah perkataan Ibnu ‘Abbas kepada seorang budak wanita yang hamil atau menyusui :
أنت بمنزلة الذي لا يطيق ، عليك أن تطعمي مكان كل يوم مسكينا ولا قضاء عليك
Engkau, kedudukanmu seperti yang tidak mampu.  Kewajibanmu memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya dan tidak ada kewajiban qadla atasmu” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dengan sanad yang dikatakan Syaikh Al-Albani shahih sesuai dengan syarat Muslim – Irwaaul-Ghalil 4/19.  Juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 4/219 no. 7567 – tapi tanpa kata-kata : tidak ada kewajiban qadla atasmu).
Juga perkataan Sa’id bin Jubair bahwa Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum mengatakan kepada budaknya yang hamil atau menyusui :
أنت من الذين لا يطيقون الصيام عليك الجزاء وليس عليك القضاء
Engkau termasuk tidak mampu, kewajibanmu memberi makan, bukan qadla” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2/206 no. 8 dan ia berkata : sanadnya shahih).
Juga perkataan Ibnu ‘Umar atas pertanyaan seorang wanita hamil :
أفطري وأطعمي عن كل يوم مسكينا ولا تقضي

Berbukalah dan berilah makan satu orang miskin sebagai ganti setiap harinya dan jangan kamu mengqadla” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2/207 no. 14 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 6/263.  Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanadnya bagus – Irwaaul-Ghalil 4/20). 

No comments: