Buku
ini merupakan renungan atau refleksi atau otokritik terhadap kita semua. Terhadap
perjalanan dakwah berbagai lembaga keagmaan yang ada di tanah air. Yang
diantara pelakunya adalah penulis sendiri, para da’i, para ustadz, para
muballigh, para kyai, para ulama, para habaib dan berbagai jama’ah dakwah lokal
maupun internasional.
Menurut pengamatan penulis, dakwah
besar ini sepertinya berjalan sendiri-sendiri. Mereka tidak memiliki induk atau
ulama yang dapat mempersatukan berbagai aliran atau manhaj atau madzhab dalam
dakwah. Semuanya nampak egois dengan keistemewaan dan tokoh atau syaikhnya sendiri-sendiri.
Masing-masing pihak merasa yang paling baik. Paling hebat. Paling islami. Dan
paling ahlu sunnah wal jama’ah. Semuanya saling klaim sebagai firqatun najiyah.
Thaifah manshurah. Serta satu-satunya penghuni syurga.
Akibatnya di lapangan dakwah, kadang
terjadi benturan yang tidak perlu. Baik benturan pemikiran, kepentingan hingga
benturan fisik. Hal ini tentu saja akan melemahkan barisan dakwah. Membuka front
pertikaian dan permusuhan. Menghabiskan waktu, dana dan energi. Serta hilangnya
kekuatan ummat Islam dihadapan musuh-musuhnya.
Dampak lainnya, meskipun dakwah
nampaknya marak tapi ternyata praktek-praktek keagamaan ummat islam tidak
menunjukkan adanya perubahan yang siginifikan. Kultus, taqlid, khurafat,
animisme, dinamisme dan perdukunan masih kental mewarnai kehidupan bangsa ini.
Belum lagi perjuangan penegakkan syareat islam semakin hari semakin pudar dan
gemanya semakin hilang dengan beredarnya waktu.
Ummat saat ini seolah lelah dan capai.
Akibatnya mereka bersikap pragmatis dan lebih percaya kepada orang-orang yang
memiliki uang atau ilmu kanuragan atau ketokohan dan keturunan tertentu.
Dibandingkan kepada ilmu, alqur’an, sunnah dan para da’i ilallah. Ummat
lebih percaya dengan aliran-aliran penyejuk jiwa. Aliran suluk dan aliran
tasawuf.[1]
Sehingga melalaikan kerja keras, menuntut ilmu, jihad, perencanaan dan
perjuangan yang terprogram menuju penerapan ajaran Islam secara menyeluruh.
Ini tidak lepas dari kurangnya
persatuan, kesatuan dan sinergi diantara lembaga dakwah dan para da’inya. Tidak
adanya kurikulum, silabus, acuan, TIU (Tujuan Instruksional Umum), TIK (Tujuan
Instruksional Khusus) dan standar dalam pendidikan Islam yang ada di masyarakat.
Sehingga materi dakwah berputar dari itu ke itu lagi. Sehingga tidak mampu
menjadi sarana untuk menghadapi berbagai macam problematika kehidupan.
Untuk itulah penulis menawarkan
berbagai landasan moral dan landasan teknis untuk menyatukan da’i, lembaga, jama’ah,
manhaj dan madzhab untuk memberdayakan dan meningkatkan harkat dan martabat ummat
Islam. Semoga hal ini dapat menjadi wacana, diskusi dan bahan pencerahan kita
semua. Semoga Allah meridhainya dan menjadikan amal shalih disisiNya. Amiin Yaa Rabbal ‘Aalamiina.
[1]
Bukan berarti tidak boleh, namun sayang kadarnya terlalu berlebihan dan
mendominasi kehidupan ummat
No comments:
Post a Comment