Qadla Puasa Ramadlan
1.
Bagi orang-orang yang diberikan
rukhshah untuk tidak berpuasa di bulan Ramadlan (karena safar, sakit, haidl,
dan nifas), maka ia diwajibkan mengganti puasanya (qadla) tersebut di hari lain
sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan (lihat kembali pembahasan
Orang-Orang yang Tidak Diwajibkan Berpuasa).
Qadla’ puasa Ramadlan tidak harus dilakukan seketika. Kewajiban mengqadla’ ini bersifat fleksibel
dan penuh keluasan. Aisyah radliyallaahu
‘anhaa menceritakan tentang qadla’ puasanya :
كان
يكون علي الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان الشغل من رسول الله صلى
الله عليه وسلم
“Aku mempunyai hutang puasa Ramadlan, lalu aku tidak
bisa mengqadla’-nya kecuali di bulan Sya’ban karena ada kesibukan dengan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” (HR. Muslim no. 1146).
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani berkata dalam Fathul-Baari
(4/212) : [وفي الحديث دلالة
على جواز تأخير قضاء رمضان مطلقا سواء كان لعذر أو لغير عذر] “Hadits ini merupakan petunjuk dibolehkannya menunda qadla’
Ramadlan secara mutlak, baik karena alasan atau karena tidak ada alasan”.
Namun, menyegerakan qadla’ puasa adalah lebih utama
daripada menundanya, karena hal ini tercakup dalam keumuman dalil yang
menunjukkan anjuran untuk segera mengerjakan amal kebaikan dan tidak
menunda-nunda, seperti firman Allah ta’ala :
وَسَارِعُوَاْ
إِلَىَ مَغْفِرَةٍ مّن رّبّكُمْ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu”
(QS. Ali Imran : 133).
2.
Tidak wajib mengqadla’ puasa
secara berurutan.
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu
‘anhuma telah menjelaskan :
لا
بأس أن يفرق
“Tidak
apa-apa (mengqadla’ puasa) secara terpisah” (Diriwayatkan oleh Bukhari
secara mu’allaq dan disambungkan sanadnya oleh Abdurrazzaq, Ad-Daruquthni, dan
Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Mukhtashar Shahih Bukhari 1/569).
Adapun
hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi (4/259) dan Ad-Daruquthni (2/191-192)
yang artinya : “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadlan,
hendaklah ia mengerjakannya secara berurutan dan tidak putus-putus”; adalah hadits dla’if. Lihat perincian
kedla’ifannya dalam kitab Irwaa’ul-Ghaliil (no. 943) karya Syaikh
Al-Albani rahimahullah.
3.
Para ulama’ sepakat bahwa orang yang meninggal
dunia, sedangkan dia memiliki tanggungan kewajiban puasa, maka walinya atau
yang lainnya tidak wajib mengqadla’-nya.
Demikian juga orang yang tidak mampu berpuasa, tidak boleh ada seseorang
yang menggantikan puasanya semasa hidupnya.
Akan tetapi ia memberi makan satu orang miskin setiap hari sebagaimana
yang dilakukan oleh Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu.
Dari Umrah bahwa ibunya
meninggal dunia dan ia punya tanggungan puasa Ramadlan. Ia berkata kepada ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa : “Apakah aku harus membayar puasanya?”. Aisyah menjawab,”Tidak, tetapi
keluarkanlah sedekah sebagai ganti dari puasanya itu, yaitu setiap satu hari
diganti dengan memberikan setengah sha’ kepada orang miskin” (Diriwayatkan
oleh Ath-Thahawi dalam kitab Musykiilul-Aatsaar 3/142 dan Ibnu Hazm
dalam Al-Muhalla 7/4 dengan sanad shahih).
Akan
tetapi bagi orang yang meninggal dunia, sedangkan ia mempunyai puasa nadzar yang belum ia tunaikan, maka
walinya boleh berpuasa untuknya. Hal ini
sesuai dengan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
من
مات وعليه صيام صام عنه وليه
“Barangsiapa yang meninggal
dunia, sedangkan dia mempunyai tanggungan puasa (nadzar), maka hendaklah
walinya berpuasa untuknya” (HR. Bukhari no. 18451 dan Muslim no. 1147).
أن
سعد بن عبادة الأنصاري استفتى النبي صلى الله عليه وسلم في نذر كان على أمه فتوفيت
قبل أن تقضيه فأفتاه أن يقضيه عنها
“Bahwasannya Sa’id bin ‘Ubadah
radliyallaahu ‘anhu meminta fatwa kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
mengenai nadzar ibunya yang telah meninggal sebelum melaksanakan nadzarnya
tersebut. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam memberi fatwa agar Sa’id melaksanakan nadzar tersebut atas
nama ibunya” (HR. Bukhari no. 6320).
4.
Barangsiapa yang meninggal dunia,
sedangkan ia mempunyai hutang puasa nadzar, maka jika ada beberapa orang yang
berpuasa untuknya sesuai dengan jumlah hari yang ia nadzarkan, maka hukumnya
boleh. Al-Hasan berkata:
إن
صام عنه ثلاثون رجلا يوما واحدا جاز
”Jika ada tiga puluh orang berpuasa untuknya, setiap
orang satu hari, maka hukumnya adalah boleh” (HR. Bukhari secara mu’allaq
dan disambungkan sanadnya oleh Ad-Daruquthni dalam kitab Adz-Dzabhi dengan
sanad shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar
Shahih Bukhari 1/570).
No comments:
Post a Comment