Syi’ah[1]
Pada masa khalifah Utsman RA
sudah lahir bibit-bibit firqah Syi’ah yang diusung oleh Abdullah bin Saba’.
Seorang yahudi yang berasal dari Yaman dan berpura-pura masuk Islam.[2]
”....kelompok Syi’ah adalah kelompok atau golongan yang memuja dan
mengkultuskan Ali bin Abi Thalib dan ahlul bait, bahkan mereka ada yang menilai
Ali adalah Nabi dan ada pula yang mengatakan Ali sebagai Tuhan seperti dikatakan
Abdullah bin Saba’ salah seorang Yahudi tulen yang membidani munculnya syi’ah.”[3]
DR, Daud Rasyid, MA dosen UIN Sunan Gunung
Jati menyatakan, ”Dalam peristiwa fitnah, aktor intelektualnya
sudah terbongkar yaitu Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi dari Yaman yang berpura-pura
masuk Islam. Dialah yang merancang skenario huru-hara sejak pemerintahan Utsman
hingga ke masa Ali. Dia masuk ke
negeri-negeri Islam untuk menyebar fitnah....”[4]
Namun tidak semua ajaran
syi’ah sesat dan menyesatkan. Karena ada juga aliran syi’ah yang mendekati ahlu
sunnah wal jama’ah (Aswaja).[5]
Khawarij
Lalu pada masa Ali RA lahir
khawarij. Meskipun bibit-bibitnya sudah muncul di zaman Rasulullah SAW dan juga
khalifah Ustman RA. Namun yang paling tepat khawarij muncul pada masa Ali RA
ketika terjadi peristiwa tahkim antara Ali RA dengan Mu’awiyah RA. [6]
Dengan perkataannya yang sangat terkenal, ”Laa hukma illaa lillaah” (tidak ada hukum kecuali dari Allah).[7]
Serta doktrin-doktrin agamanya
yang sangat keras. Antara lain yaitu menyatakan bahwa Ali RA, Muawiyah RA dan
yang setuju dengan tahkim adalah kafir. Orang yang melakukan dosa besar dan
tidak bertaubat kekal dalam neraka. Tidak ada hukum yang bersumber selain
daripada Alqur’an. Anak orang kafir yang mati sebelum baligh masuk neraka.
Semua dosa adalah dosa besar tidak ada dosa kecil. Serta ibadah termasuk rukun
iman.[8]
Qadariyah
Lalu pada sekitar tahun 70 H
di masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan di Iraq lahir faham
Qadariyah yang dipelopori Ma’bad bin Juhani Al Bisriy dan Al Jad bin Dirham.
Pokok ajarannya adalah
manusia bersifat muthlaq menentukan nasib dan perbuatannya. Nasib manusia
terjadi atas kehendaknya sendiri tanpa campur tangan Allah SWT. Iman adalah pengetahuan dan pemahaman. Sedang
amal perbuatan tidak mempengaruhi iman. Artinya berbuat dosa besar tidak
mempengaruhi iman yang dapat menjadikannya kafir. Orang beriman tidak perlu bergegas untuk
melakukan ibadah dan amal shalih lainnya.[9]
Jabariyah
Sekitar tahun 70 H muncul
aliran Jabariyah yang pertama kali yaitu di Khurasan (Persia). Dengan pelopornya
Jahm bin Shafwan. Sehingga aliran ini disebut dengan nama Jahmiyah.
Dengan pernyataannya yang sangat terkenal yaitu bahwa manusia itu terpasung,
tidak mempunyai kebebasan apapun dan semua perbuatan manusia ditentukan oleh
Allah tanpa campur tangan manusia. Sesuai dengan nama alirannya yaitu jabar
yang berarti memaksa, dipaksa atau terpaksa.[10]
Ciri-ciri ajaran jabariyah
antara lain adalah manusia tidak memiliki kebebasan dalam berikhtiar, setiap
perbuatannya baik atau buruk Allah-lah yang menentukannya. Allah tidak
mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi. Ilmu Allah bersifat huduts atau
baru. Iman cukup dalam hati saja dan tidak perlu dilafadzkan. Surga dan neraka
tidak kekal dan akan hancur bersama penghuninya karena yang kekal hanya Allah
SWT. Allah tidak dapat dilihat di syurga. Alqur’an adalah makhluk bukan firman
Allah. [11]
Murji’ah
Pada akhir abad pertama
hijriyan muncul ajaran Murji’ah pertama kali di Damaskus dengan pelopornya Al
Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah.[12]
Asal kata murji’ah dari ’irja yang artinya menangguhkan. Kaum murji’ah artinya
kaum yang menangguhkan. Artinya mereka menangguhkan semua urusan dihadapan
Allah SWT. Dan berpangku tangan terhadap segala persoalan dunia dengan
meninggalkan ikhtiar, amal, jihad dan daya usaha. [13]
Ciri
utama ajarannya antara lain bahwa orang berbuat dosa besar tetap mukmin selama
telah beriman. Bila meninggal dalam kondisi melakukan dosa besar ketentuannya
tergantung Allah SWT di akherat kelak. Kemaksiyatan tidak berdampak apapun bagi
orang beriman. Dalam arti dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan
seseorang. Golongan ini tidak mau mengkafirkan orang Islam meskipun orang tersebut
melakukan kemaksiyatan dan dosa besar. Mereka juga berpendapat bahwa orang yang
terlihat lahirnya kafir, namun bila hatinya tidak, maka orang tersebut tidak
dapat dihukumi kafir. Karena kafir tidaknya seseorang tidak dilihat dari segi
lahirnya namun batinnya.[14]
Mu’tazilah
Pada
sekitar tahun 120 H lahir aliran mu’tazilah yang dimotori oleh Wasil bin Atha’.[15] Ajaran ini berasal dari kata ’itizal yang
berarti berpisah. Karena Wasil bin Atha’ memisahkan diri dari gurunya yang
merupakan salah seorang imam besar ahlu sunnah wal jama’ah yaitu Imam Hasan Al
Bashri.[16]
Penyebabnya
adalah karena perbedaan pendapat mengenai dosa besar. Menurut Imam Hasan Al
Bashri kaum muslimin yang melakukan dosa besar maka orang itu tetap muslim
tetapi muslim yang durhaka. Jika ia wafat sebelum taubat dari dosanya maka ia
dimasukkan ke dalam neraka untuk sementara. Namun setelah menjalani hukuman
ia akan dimasukkan ke dalam syurga.
Tapi menurut
Wasil bin Atho’ orang semacam itu keluar dari mukmin tapi tidak kafir. Karena itu tempatnya
bukan di neraka dan bukan pula di syurga. Atau yang dikenal dengan istilah Al
manzilah baina manzilataini (Tempat yang berda diantara dua tempat).[17]
Pokok-pokok
ajarannya antara lain menyatakan bahwa akal merupakan hukum tertinggi. Alqur’an
adalah makhluk bukan firman Allah. Allah tidak dapat dilihat di syurga oleh
penghuninya. Isra’ dan mi’raj nabi dengan ruh bukan dengan jasad. Syurga dan
neraka tidak kekal, yang kekal hanya Allah SWT. Mizan (timbangan amal) dan shirat
(jembatan yang melintas di atas neraka jahanam) dan haudh (sungai atau telaga
dalam syurga) tidak ada. Tidak ada nikmat dan adzab kubur.[18]
Rukun iman mereka ada lima yaitu Tauhid, keadilan Tuhan, Janji baik dan janji
buruk, tempat diantara dua tempat serta amar ma’ruf nahi munkar.[19]
[1]Aliran-aliran
tersebut dan lainnya hanya akan saya bahas garis-garis besar saja, untuk
detilnya silahkan baca buku-buku yang menjadi rujukan penulis.
[2]Wamy,
Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Jilid 1, Al Ishlahy Press (Jakarta , 1993), hal. 219.
[3]KH. M. Sufyan Raji Abdullah, Mengenal
Aliran-Aliran Dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, Pustaka Ar Riyadh
(Jakarta:2007), hal. 76.
[4]Pengantar beliau dalam buku Fitnah Kubro (Tragedi Pada Masa Sahabat) karya
Prof. DR. Muhammad Ahmazun , LP2SI Al Haramain,
(Jakarta:1999), hal. xiii,
[5]Ibid KH. M. Sufyan Raji Abdullah, hal. 84
[6]Ibid
hal. 40
[7]KH.
Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah (Jakarta :2005), hal. 168.
[8]KH. M. Sufyan Raji Abdullah hal. 41.
[9]Ibid
hal. 48.
[10]Ibid
hal. 55
[11]Ibid
hal 55-56. Lihat juga buku kraya KH Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlu Sunnah Wal Jamah hal. 276-277.
[12]Ibid
KH. M. Sufyan Raji Abdullah, hal. 50.
[13]KH
Siradjuddin Abbas hal. 182-183.
[14]Ibid
KH. M. Sufyan Raji Abdullah hal. 51.
[15]KH
Siradjudin Abbas hal. 191
[16]KH. M. Sufyan Raji Abdullah hal. 57.
[17]Ibid
hal. 66
[18]Ibid
hal 67.
[19]KH
Siradjuddin Abbas hal. 199.
No comments:
Post a Comment