BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan ini banyak sekali
terjadi hubungan antar individu atau antar organisasi atau antar instansi atau
antar kelompok atau antar jenis kelamin.
Namun tidak semua hubungan yang terjadi
merupakan hubungan kerja. Misalnya hubungan
kekerabatan, persahabatan, perkawinan, paguyuban dan keorganisasian.
Karena itulah kita dituntut untuk
mengetahui apa itu hubungan kerja dan bagaimana ciri-cirinya?
1.1.
Hubungan
Kerja
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan peri ntah.[1]
Berdasarkan pengertian ini maka ada empat syarat
terjadinya hubungan kerja. Yaitu adanya perjanjian
kerja, pekerjaan, upah dan peri ntah.
Perjanjian kerja ini dapat dibuat secara tertulis
maupun secara lisan. Khusus untuk perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat
secara tertulis. Sedangkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat
dilakukan secara lisan. Namun sebaiknya, kedua-duanya dibuat secara tertulis.
Karena hal ini terkait dengan masalah
pembuktian di pengadilan hubungan industrial bila suatu saat terjadi
perselisihan hubungan industrial.
Adapun unsur pekerjaan pada umumnya memiliki nama
posisi pekerjaan atau jabatan atau job title yang biasanya dituangkan secara
terperi nci dalam bentuk uraian
pekerjaan atau job description. Pengetahuan masalah ini secara terperi nci dijelaskan dalam ilmu yang bernama analisa
pekerjaan (job analysis).
Contoh posisi pekerjaan antara lain sekretaris,
auditor, manajer pemasaran, kepala gudang, kepala cabang hingga kepala divisi.
Sedangkan pekerjaannya dapat berupa mengetik, mencatat, menghubungi, mengepel,
menganalisa, mengevaluasi, memasarkan hingga mengambil keputusan.
Sedangkan upah adalah hak pekerja/buruh yang
diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau
pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang‑undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja/buruh dan keluarganya
atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang
telah atau akan dilakukan.[2]
Upah ini dibayarkan secara langsung dari pengusaha
kepada pekerja baik dengan cara tunai maupun melalui transfer bank.
Upah dapat
terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maupun upah clean wages yang
besarnya tidak boleh kurang dari upah minimum propinsi atau upah minimum
regional.
Adapun peri ntah dapat dilakukan secara lisan maupun
tertulis. Dengan lisan yaitu dengan cara memberikan peri ntah langsung kepada pekerja untuk melaksanakan
suatu pekerjaan.
Secara tertulis dapat dilakukan melalui uraian
pekerjaan, RKAP, program kerja ataupun disposisi. Namun pada umumnya dilakukan
melalui job description.
Bedanya dengan penyerahan sebagian pelsanaan
pekerjaan kepada perusahaan pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja /
buruh adalah bahwa pada pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja /
buruh, perjanjian kerjanya dibuat antara perusahaan pemborong pekerjaan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh dengan pekerja / buruh yang
dipekerjakan untuk melaksanakan sebagian
pekerjaan perusahaan pemberi pekerjaan yang diserahkan pelaksanaannya kepada
perusahaan pemborong pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh,
dan yang membayar upah kepada pekerja tersebut adalah perusahaan pemborong
pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh. Dengan demikian tidak
ada hubungan kerja antara pekerja perusahaan pemborong pekerjaan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Ketentuan
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain secara terperi nci diatur dalam 64, 65 dan 66 Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 dan Kepmenakertrans Nomor Kep. 220/MEN/X/2004 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada perusahaan lain
serta Kepmenakertrans Nomor Kep. 101/MEN/VI/2004.
Pemahaman masalah hubungan kerja ini sangat penting
dan mendasar yaitu agar kita mampu membedakannya dengan penyerahan pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain.
1.2.
Perjanjian
Kerja
Menurut Pasal 1601a KUH Perdata yang dimaksud
dengan Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu, buruh
mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain, majikan, selama waktu
tertentu dengan menerima upah.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 14 UU 13
tahun 2003, pengertian Perjanjian kerja
adalah perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat‑syarat kerja, hak, dan kewajiban
para pihak.
Berdasarkan hal ini maka ada
enam unsur perjanjian kerja yaitu :
a.
Perjanjian
Perjanjian disini dapat
lahir karena persetujuan maupun karena undang-undang. Dalam perjanjian kerja,
perjanjian yang terjadi lahir karena adanya persetujuan. Dimana pihak yang satu
memberikan prestasi atau hasil kerja sementara pihak yang lain memberikan upah.
Dengan catatan dalam
perjanjian kerja terjadi kekhususan yaitu isi perjanjian kerja tidak boleh
lebih rendah dari aturan normatif yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan maupun syarat kerja yang tertuang dalam
Pejanjian Kerja Bersama (PKB) atau Peraturan Perusahaan (PP).
Perjanjian kerja dapat dilakukan secara tertulis
maupun secara lisan. Untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu wajib dilakukan
secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin, jika
tidak maka dinyatakan menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
b.
Pekerja/Buruh
Pekerja/buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain.[3]
Dengan demikian pekerja memiliki kewajiban untuk bekerja dan karena itu maka ia
berhak menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
c.
Pengusaha / Pemberi Kerja
Pemberi
kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.[4]
Adapun Pengusaha adalah a. orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan
milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudukan di luar
wilayah Indonesia.[5]
Dengan adanya pemberi kerja /
pengusaha maka disini ada hubungan majikan dan buruh. Artinya ada yang diperi ntah dan ada yang menjalankan peri ntah. Jadi ada kedudukan yang tidak setara. Yang
satu menyuruh dan yang lainya disuruh.
Hal ini berbeda dengan dokter dan
pasien. Disini kedudukannya setara. Begitupun dengan perjanjian pemborongan pekerjaan
atau kontrak pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan pemborong.
Selain itu yang dibayarkannya bukanlah upah tapi uang jasa.
d.
Syarat-Syarat Kerja
Syarat kerja adalah hak dan kewajiban antara pengusaha dengan
pekerja atau buruh yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian
Kerja (PK).
Syarat kerja bagi pekerja/buruh antara lain memiliki kemampuan/kompetensi yang
diperlukan Perusahaan, cakap secara hukum dan kesediaan untuk mentaati
perjanjian kerja dan ketentuan-ketentuan lainnya yang ada pada Perusahaan.
Sedangkan syarat kerja bagi Pengusaha antara lain membayar upah.
Mengikutsertakan pekerja dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Memberikan
tunjangan hari raya keagamaan. Menyediakan kondisi kerja yang aman, nyaman dan
sesuai dengan ketentuan mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Dan memenuhi
seluruh ketentuan ketenagakerjaan atau PKB atau PP atau PK yang berlaku.
e.
Hak
Hak adalah segala sesuatu yang
harus diterima oleh para pihak. Hak pekerja adalah menerima upah
dan segala jenis tunjangan sesuai ketentuan yang berlaku. Sedangkan hak
pengusaha adalah memberikan peri ntah
atau menerima prestasi kerja dari pekerja sesuai dengan Perjanjian Kerja atau
Job Description atau Sistem Penilaian Kinerja.
f.
Kewajiban
Kewajiban
adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh para pihak. Dengan kata lain hak
Pekerja adalah kewajiban Pengusaha. Sedangkan hak pengusaha adalah kewajiban
pekerja. Kewajiban pengusaha adalah membayar upah atau imbalan lainnya atau
tunjangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan kewajiban pekerja
adalah bekerja atau memberikan prestasi dengan sebaik-baiknya.
1.3.
Syarat
Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya Perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata. Yang berbunyi :
“Syarat sahnya perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya;
2. kecakapan untuk melakukan peri katan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.”
Syarat nomor 1 (satu) dan
nomor 2 (dua) dinamakan syarat subyektif,
karena mengenai orang atau subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat
nomor 3 (tiga) dan nomor 4 (empat) dari
syahnya suatu perjanjian kerja tersebut dinamakan syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek
dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dalam hal suatu syarat
subyektif itu tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak mengajukan
pembatalan ke Pengadilan Negeri. Dalam hal suatu syarat obyektif itu tidak
terpenuhi, maka perjanjiannya batal demi hukum artinya dari awal tidak pernah
ada perjanjian.
Contoh syarat subjektif
adalah perjanjian kerja yang dibuat oleh anak-anak. Maka walinya dapat meminta
pembatalan ke pengadilan.
Sedangkan contoh syarat
objektif adalah perjanjian kerja untuk melakukan perbuatan yang melanggar
hukum. Maka secara otomatis perjanjian
dianggap tidak ada karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya perjanjian kerja di perusahaan yang mengedarkan
narkoba secara ilegal.
Sedangkan berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang 13
Tahun 2003 menyatakan bahwa Perjanjian
kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b.
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan
hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang‑undangan
yang berlaku.
Kemudian
ayat selanjutnya menyatakan : (2) Perjanjian
kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan. Ayat (3)menyatakan
Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum. Selanjutnya
perjanjian yang telah disepakati tersebut menjadi undang-undang bagi kedua
belah pihak. Dimana kedua belah pihak harus mematuhinya. Perjanjian ini tidak dapat
ditarik kembali kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan
undang-undang. Untuk itu maka perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.[6]
Dalam hal tertentu perjanjian dapat diubah yaitu
dengan cara melakukan amandemen jika ada perubahan atau dengan addendum jika
terdapat penambahan isi perjanjian.
1.4.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau
untuk pekerjaan tertentu.[7]
Berdasarkan pengertian tersebut
maka ada empat hal yang menjadi ciri PKWT. Pertama, merupakan perjanjian
untuk mengadakan hubungan kerja. Karena itu PKWT harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang 13
Tahun 2003.
Kedua, hubungan kerja didasarkan atas jangka waktu tertentu atau selesainya
pekerjaan tertentu. Artinya bahwa hubungan kerja dengan PKWT sifatnya sementara
atau untuk waktu yang tidak terlalu lama.
Ketiga,
yaitu perjanjian kerja. Artinya
bahwa PKWT merupakan perjanjian dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Karena itu
PKWT harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Yaitu memenuhi Pasal 1320
KUH Perdata atau Pasal 52 Undang-Undang 13 Tahun 2003.
Selanjutnya yang menjadi ruang
lingkup dalam perjanjian ini adalah mengenai pekerjaan. Yaitu adanya unsur
upah, peri ntah dan pekerjaan. Karena
itu dalam perjanjian kerja ada orang yang menyuruh atau memerintahkan yaitu
pengusaha dan ada yang disuruh atau yang diperi ntahkan
yaitu pekerja/buruh.
Perjanjian Kerja waktu tertentu tidak
dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Yang dimaksud dengan
pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya
terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian
dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan
musiman.[8]
BAB
II
KETENTUAN
UMUM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU
2.1.
Syarat Umum PKWT
Secara
umum syarat kerja dalam PKWT diatur pada Pasal 54 UU 13 Tahun 2003. Yaitu perjanjian
kerja harus dibuat secara tertulis dan sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat
pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat‑syarat
kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
tempat dan tanggal perjanjian
kerja dibuat;
h. dan tanda tangan para pihak
dalam perjanjian kerja.
Serta ketentuan
sebagaimana dimaksud pada huruf e dan f di atas tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang‑undangan
yang berlaku.
Atau dengan kata lain
isi PKWT tidak boleh bertentangan norma kerja baik yang bersifat umum yang
diatur dalam peraturan perundang‑undangan yang berlaku maupun norma khusus
berupa syarat kerja yang di atur dalam PKB/PP.
Dalam dunia kerja
misalnya pengusaha harus memberikan upah serendah-rendahnya setara dengan upah
minimal propinsi. Memberikan cuti minimal 12 hari kerja setelah bekerja lebih
dari satu tahun.
Memberikan THR sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Yaitu tunjangan Hari
Raya keagamaan harus dibayarkan 15 (lima belas) hari sebelum Hari Raya
keagamaan dengan ketentuan bahwa besarnya Tunjangan Hari Raya Keagamaan
diberikan 1 (satu) kali bulan upah, Untuk masa kerja buruh yang kurang dari 1 (satu) tahun, tunjangan
Hari Raya Keagamaan yang diterima dihitung secara proporsional dengan ketentuan
masa kerja yang kurang dari 3 (tiga) bulan tidak diberikan Tunjangan Hari Raya
Keagamaan. Dan apabila buruh mengundurkan diri atau berhenti, 1 (satu) bulan atau
lebih sebelum Hari Raya Keagamaan, maka buruh tersebut tidak diberikan
Tunjangan Hari Raya Keagamaan.
Selanjutnya PKWT tersebut dibuat sekurang‑kurangnya
rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan
hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing‑masing mendapat 1
(satu) perjanjian kerja.
Syarat umum lainnya PKWT harus dibuat dalam
bahasa Indonesia dan dengan huruf latin. Dapat juga dibuat dalam bahasa
Indonesia dan bahasa asing. Namun jika terjadi perbedaan penafsiran maka yang
berlaku adalah yang berbahasa Indonesia.[9]
Selain
itu sesuai dengan Pasal 59 Undang-Undang 13 Tahun 2003, PKWT juga harus
memenuhi syarat yaitu :
(1) Perjanjian kerja
untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,
yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai
atau yang sementara sifatnya;
b.
pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,
atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau
diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu
tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud
memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh)
hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan
maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja
waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30
(tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama,
pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu)
kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Yaitu diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan perjanjian Kerja Waktu
Tertentu.
2.2.
Isi PKWT
Sebagaimana telah dijelaskan
pada Pasal 54 Undang-Undang 13 Tahun 2003, isi PKWT sekurang-kurangnya memuat, nama,
alamat perusahaan, dan jenis usaha, nama, jenis kelamin, umur, dan alamat
pekerja/buruh, jabatan atau jenis pekerjaan, tempat pekerjaan, besarnya upah
dan cara pembayarannya, syarat‑syarat
kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh, mulai dan
jangka waktu berlakunya perjanjian kerja, tempat dan tanggal perjanjian kerja
dibuat dan tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
a.
Identitas Pengusaha
Jadi pada PKWT harus menjelaskan identitas
Pengusaha yang meliputi nama perusahaan, alamat dan dasar hukum pendiriannya, yang
dalam penandatanganannya biasanya diwakili oleh Pimpinannya atau Direktur
Utama. Dapat juga didelegasikan kepada pejabat lainnya. Misalnya kepada Kepala
Cabang atau Kepala Divisi, dengan syarat ada aturan atau pendelegasian yang
jelas tertulis pada Perusahaan tersebut. Baik dalam bentuk keputusan atau
surat.
Contoh identitas Pengusaha dalam PKWT adalah :
PT ........., yang didirikan dengan Akte Notaris ..... No. ... tanggal .... di ....,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT
.... dari Notaris ..... No. ... tanggal ... di ... tentang Perubahan Anggaran
Dasar .... dan telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman RI nomor
C2-.... HT. ... th. .. tanggal .... serta diumumkan dalam Berita
Negara RI tanggal .... No. ...., tambahan Berita Negara No. ..., sebagaimana terakhir telah diperbaharui
dengan Akte Pernyataan Keputusaan Rapat ...... dari Notaris Nyonya ....... Nomor
... Tanggal ... tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Direksi ...
beralamat di Graha ... Jalan ..... Kode Pos ...., dalam perbuatan hukum ini
diwakili secara sah oleh ...... dalam jabatannya sebagai Direktur Utama,
selanjutnya dalam Perjanjian Kerja ini disebut sebagai PIHAK KESATU.
Apabila
dalam pembuatan perjanjian kerja pihak perusahaan memberikan kuasa kepada
wakilnya dalam melakukan penandatanganan perjanjian kerja, maka pihak yang
ditunjuk atau yang diberi kuasa tersebut harus bertindak untuk dan atas nama perusahaan bukan atas nama pribadi.
b.
Identitas Pekerja / Buruh
Isi PKWT selanjutnya adalah tentang identitas
pekerja / buruh seperti nama, jenis
kelamin, umur dan alamat. Contoh :
<Nama>, usia ..... tahun, jenis kelamin ....., agama.......,
berdasarkan Kartu Tanda Penduduk No. .......................... yang
dikeluarkan oleh Camat …… bertempat tinggal di Jl. ….. Kelurahan Rt. /… No. Kecamatan …. Kota/Kabupaten …, Provinsi …..
Kode Pos ..... yang selanjutnya dalam Perjanjian ini disebut sebagai PIHAK KEDUA.
c. Jabatan
/ Jenis pekerjaan
Kemudian tentang jabatan atau jenis
pekerjaan. Yang dimaksud dengan jabatan
atau jenis pekerjaan yang diperjanjikan adalah jabatan yang diduduki atau yang
akan dikerjakan. Hal ini perlu untuk memberikan kepastian jabatan atau jenis
pekerjaannya, namun tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan jabatan atau
jenis pekerjaan dikemudian hari karena kebutuhan operasional perusahaan
sepanjang disepakati dan merupakan addendum substansi dalam Perjanjian Kerja.
Pada PKWT biasanya hanya disebutkan nama
jabatannya saja. Adapun uraian pekerjaannya biasanya dituangkan dalam
job description. Contohnya adalah :
PIHAK KEDUA ditempatkan di <UNIT KERJA> (<SINGKATAN>), untuk melaksanakan pekerjaan sebagai
<POSISI PEKERJAAN> dengan status sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) dengan
Nomor Register Pegawai (NRP) ………………..
Lingkup pekerjaan PIHAK KEDUA
secara rinci akan ditetapkan secara tertulis oleh Kepala Divisi ………………… atau Pejabat lain yang ditunjuk
olehnya.
Atau dalam bentuk yang lebih terinci uraian pekerjaan dapat dilihat pada
contoh berikut ini :
Lingkup pekerjaan PIHAK KEDUA
secara rinci adalah sebagai berikut :
1. Merumuskan kebijakan umum pengadaan Pegawai PT ......;
2. Membuat Rumusan Mekanisme / Tata Cara Pengisian Posisi
Pekerjaan PT ....;
3. Membantu Tim merumuskan Keputusan Direksi mengenai
prosedur Pengadaan Pegawai Tetap, Pengadaan Pegawai Tidak Tetap, Perpanjangan
Pegawai Tidak Tetap, Pembaruan Pegawai Tidak Tetap, Pengadaan Pegawai Harian
Lepas dan Pengadaan Pemborongan Jasa Pekerja;
4. Merumuskan Pekerjaan Utama (CORE) dan Pekerjaan Penunjang (NON CORE) PT .....;
5. Melakukan penyempurnaan nama-nama posisi pekerjaan;
6. Melakukan penyelarasan job family;
7. Membuat rumusan organisasi, wewenang, tugas pokok dan
tanggung jawab Divisi Pengembangan SDM sesuai dengan kebutuhan bisnis
Perusahaan;
8. Membantu menyelesaikan permasalahan
posisi pekerjaan yang tidak diatur dalam Keputusan Direksi dan PKWT serta
Perjanjian Pemborongan yang ada saat
ini;
9. Membantu menyelesaikan permasalahan PKWT dan Pemborongan
Pekerjaan sebelum ditetapkannya Keputusan yang baru tentang PKWT dan
Pemborongan Pekerjaan;
10. Memberikan pemahaman atau konsultasi kepada Divisi PSDM
dan atau Business Support dalam masalah ketenagakerjaan;
11. Melakukan kajian atas Perjanjian Kerja Bersama dan
Peraturan Disiplin Pegawai agar sesuai dan selaras dengan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
12.
Melaksanakan
tugas-tugas lainnya yang diberikan oleh Ketua atau Penanggung Jawab Tim
Penyelesaian Permasalahan Hubungan Industrial.
d. Tempat Pekerjaan
Tempat pekerjaan adalah tempat
dimana pegawai ditempatkan. Baik terkait dengan lokasi kerja maupun unit kerja.
Tempat atau lokasi pekerjaan harus
ditetapkan dalam perjanjian kerja, hal ini untuk memberikan kepastian bagi
pekerja dimana tempat bagi pekerja untuk melakukan aktivitas pekerjaannya. Contohnya
:
PIHAK KEDUA ditempatkan di <UNIT KERJA> (<SINGKATAN>) Lokasi ........
e. Upah dan
cara pembayarannya
Salah satu hal yang membedakan Perjanjian Kerja
dengan Perjanjian Pemborongan adalah masalah upah. Pada perjanjian kerja upah
langsung diberikan kepada Pekerja. Adapun cara pembayarannya dapat dilakukan
secara cash & carry atau dengan cara transfer ke rekening pekerja.
Pada masalah ini juga diatur mengenai
tunjangan-tunjangan lainnya yang diterima oleh pekerja. Misalnya seperti THR,
tunjangan kehadiran atau tunjangan makan. Contoh klausul upah atau imbalan :
(1) Selama PIHAK
KEDUA bekerja pada PIHAK KESATU, maka
PIHAK KEDUA berhak atas upah sebesar Rp.<…>,- (……. rupiah ) dan tunjangan kehadiran sebesar Rp.
……… (…….rupiah) yang dibayarkan pada tanggal akhir bulan yang bersangkutan atau
sehari atau dua hari sebelumnya apabila tanggal terakhir jatuh pada hari libur
melalui transfer bank ke rekening PIHAK KEDUA.
(2) Dalam hal PIHAK KEDUA tidak hadir bukan karena alasan
dinas, meliputi :
a. Ijin ataupun tidak ijin;
b. Sakit (kecuali sakit rawat inap);
c.
Melaksanakan Istirahat
tahunan.
maka tunjangan kehadiran akan dipotong sebesar Rp ……. (……rupiah) per
ketidakhadiran.
(3) PIHAK KEDUA memperoleh Tunjangan Hari Raya
Keagamaan yang dibayarkan 15 (lima
belas) hari sebelum Hari Raya Idul Fitri dengan ketentuan bahwa besarnya
Tunjangan Hari Raya Keagamaan diberikan 1 (satu) kali jumlah upah sebagaimana
tersebut pada ayat (1) Pasal ini.
Untuk masa kerja yang kurang dari 1
(satu) tahun, terhitung sejak tanggal berlakunya Perjanjian ini, Tunjangan Hari
Raya Keagamaan yang diterima PIHAK KEDUA dihitung secara proporsional,
dengan ketentuan masa kerja yang kurang dari 3 (tiga) bulan tidak diberikan
Tunjangan Hari Raya Keagamaan.
Apabila PIHAK KEDUA mengundurkan diri atau berhenti dari
perusahaan PIHAK KESATU,
1 (satu) bulan atau lebih sebelum Hari Raya Keagamaan, maka kepada PIHAK KEDUA tidak diberikan Tunjangan Hari Raya
Keagamaan.
(4) Apabila PIHAK KEDUA ditugaskan melakukan perjalanan
dinas keluar kota
maka PIHAK KEDUA menerima uang harian perjalanan dinas yang besarnya
disetarakan dengan uang harian perjalanan dinas bagi Pegawai Tetap (PT)
Golongan …..
(5) Kesetaraan bagi PIHAK KEDUA sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) Pasal ini, hanya
berlaku untuk Perjalanan Dinas dan tidak diberlakukan untuk hal lain.
(6)
PIHAK KEDUA
memperoleh hak cuti tahunan dan uang cuti tahunan setelah 1 (satu) tahun
bekerja di Perusahaan, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan
Perusahaan PIHAK KESATU yang
berlaku.
(7)
Pajak atas imbalan yang diterima PIHAK
KEDUA, ditanggung dan dibayarkan oleh PIHAK KESATU dengan ketentuan
PIHAK KEDUA memiliki NPWP.
(8)
PIHAK KEDUA diikutsertakan dalam
program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam
Peraturan Perusahaan PIHAK KESATU yang berlaku.
(9) PIHAK KEDUA memperoleh Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan sesuai dengan program JAMSOSTEK (Jaminan Sosial Tenaga
Kerja), kecuali untuk biaya selama dalam kondisi GAWAT DARURAT menjadi beban PIHAK KESATU.
(10) PIHAK
KEDUA diberikan Lembur sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam
Peraturan Perusahaan PIHAK KESATU yang berlaku.
(11)
PIHAK KEDUA tidak mendapatkan penghasilan lain dalam bentuk apapun juga selain yang telah ditetapkan dalam
Pasal ini.
Yang
pada intinya upah dan syarat kerja tidak boleh lebih rendah dari ketentuan normatif yang berlaku dalam peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.[10]
f. Tanggal berlaku
dan selesainya Perjanjian Kerja
Tanggal ini merupakan salah satu ciri pokok
perjanjian kerja. Yaitu ada tanggal mulai dan berakhirnya perjanjian
kerja. Khusus untuk tanggal berakhirnya perjanjian kerja dapat dibedakan
menjadi peerjanjian kerja yang normal dengan proyek.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu selain harus diatur jangka
waktu berlakunya perjanjian kerja, tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja
dan tanggal berakhirnya perjanjian kerja, harus diatur / dicantumkan batasan
suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
Untuk jelasnya dapat dilihat pada contoh berikut
ini.
Perjanjian Kerja ini berlaku selama <..> (…) tahun terhitung sejak
tanggal <TGL> bulan <BLN>
tahun <THN> (DD/MM/YY) dan berakhir demi hukum sampai dengan tanggal
<TGL> bulan <BLN> tahun <THN> (DD/MM/YY).
Sedangkan contoh untuk pekerjaan yang sifatnya
proyek atau untuk pekerjaan tertentu adalah :
(1) Perjanjian Kerja ini berlaku selama <..> (…) tahun
terhitung sejak tanggal <TGL>
bulan <BLN> tahun <THN> (DD/MM/YY) sampai dengan tanggal <TGL>
bulan <BLN> tahun <THN> (DD/MM/YY) atau selesainya pelaksanaan
pekerjaan sesuai Perjanjian Kerja antara PT. ... dengan …….. Nomor…….. dan Nomor …………. tanggal ……………. yang
dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan antara PT. ... dengan
................................
(2)
Apabila pelaksanaan proyek sebagaimana tersebut di atas
karena sesuatu hal diberhentikan oleh salah satu atau kedua belah PIHAK antara
Pemberi Proyek dengan PIHAK KESATU sebelum selesainya Proyek , maka jangka
waktu Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, berlaku sampai dengan 1 (satu) bulan setelah
ditetapkannya pemberhentian Proyek.
g. Syarat‑syarat kerja
yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh
Hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh tersebut antara lain :
a. Macam pekerjaan, cara
melaksanakannya, jam kerja dan tempat kerja.
b. Besarnya upah dan konsep upah
serta cara pembayaran upah dan fasilitasnya.
c. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
berupa biaya dokter, poliklinik, penggantian kacamata, biaya bersalin dsb.
d. Jaminan Sosial misalnya
kecelakaan, meninggal dunia, sakit dan pensiun.
e. Dalam Perjanjian Kerja juga
dimuat cuti, ijin meninggalkan pekerjaan dan hari libur.
Hak dan kewajiban para pihak ini biasanya sudah
dituangkan dalam Perjanjian Kerja Bersama atau Peraturan Perusahaan atau
ketentuan iternal lainnya yang ada pada Perusahaan. Karena jika dirinci tentu
akan menjadikan perjanjian kerja semakin tebal.
Contoh klausul ini adalah sebagai berikut :
(1) PIHAK
KEDUA wajib melaksanakan pekerjaan PIHAK KESATU sesuai dengan standard kinerja yang ditentukan oleh
Perusahaan dan taat pada peraturan Perusahaan PIHAK KESATU yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada :
a. Ketentuan mengenai waktu jam kerja normal pada Perusahaan
PIHAK KESATU yakni :
- Senin
s/d Jum’at : 08.00 WIB s/d 17.00 WIB.
dengan waktu istirahat : 12.00 WIB s/d 13.00 WIB.
Istirahat Jum’at :
11.30 WIB s/d 13.00 WIB
-
Kecuali
ditentukan lain sesuai dengan keperluan Perusahaan.
b.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
c.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I.
No. : Kep.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu.
d.
Perjanjian
Perjanjian Kerja Bersama antara PT. ….. dan .... ……. Nomor ….. dan Nomor ……
tanggal ……… .
e. Ketentuan-ketentuan
lainnya pada PT …….. yang berlaku.
(2) PIHAK KEDUA wajib menjaga rahasia Perusahaan PIHAK
KESATU serta dokumen-dokumen / keterangan yang diperoleh dalam menjalankan
pekerjaan berdasarkan Perjanjian ini baik selama maupun sesudah berakhirnya
Perjanjian ini.
Syarat-syarat kerja yang dimuat dalam Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu isinya tidak boleh lebih rendah dari syarat-syarat kerja yang berlaku
di perusahaan sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian
Kerja Bersama atau ketentuan perundang undangan yang berlaku.
h. Mulai
dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja, tempat dan tanggal perjanjian
kerja dibuat dan tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Masalah ini dalam perjanjian kerja biasanya
ditulis pada awal perjanjian. Sedangkan tanda tangan kedua belah pihak diatur
pada akhir perjanjian kerja.
Dalam hal Perjanjian Kerja telah disepakati maka para pihak harus membubuhkan
tanda tangan dalam Perjanjian Kerja yang dimaksud.
Contohnya :
Pada hari ini, <Hari>, tanggal <TGL> bulan <BLN> tahun
<THN> (DD/MM/YY) bertempat di PT.
B...... beralamat di Jalan ......., ......,.... telah diadakan
perjanjian (selanjutnya disebut “Perjanjian”) antara pihak-pihak:
Contoh penempatan tanda tangan :
PIHAK KEDUA,
<NAMA>
Pegawai
|
|
PIHAK
KESATU,
<NAMA>
Nama Jabatan
|
i. Ganti Rugi
Selain klausul-klausul di atas, sebaiknya perjanjian
kerja juga mengatur mengenai ganti rugi[11].
Sebab untuk mencari pegawai yang kompeten
dibutuhkan biaya, tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Untuk itu perlu klausul
ganti rugi dengan contoh sebagai berikut :
(1) Apabila salah satu
pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan
kerja, tanpa kesalahan salah satu pihak maka pihak yang mengakhiri hubungan
kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah Pegawai
sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
(2) Ketentuan sebagaimana
dimaksud ayat (1) Pasal ini tidak berlaku jika Proyek berakhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Perjanjian ini. (Untuk PKWT proyek).
j. Pemutusan Hubungan Kerja
Selanjutnya kita perlu juga
mengatur mengenai tata cara pemutusan hubungankerja. Hal ini untuk memudahkan
bagi kedua belah pihak jika dalam perjalanan ada PHK.
(1)
PIHAK KESATU berhak memutus hubungan kerja dengan PIHAK KEDUA, jika PIHAK
KEDUA sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Perjanjian
ini berakhir, tidak memenuhi standard kinerja yang telah ditetapkan oleh
Perusahaan, dan atau karena sebab-sebab lain sebagaimana diatur dalam Peraturan
Perusahaan PIHAK KESATU yang berlaku.
(2)
Dalam
hal terjadi pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal
ini, maka PIHAK KESATU wajib memberitahukan hal tersebut kepada PIHAK
KEDUA selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelumnya.
(3) Surat Perjanjian Kerja ini berakhir demi hukum
dengan sendirinya sesuai ketentuan Pasal 2 Perjanjian ini. Apabila PIHAK KESATU dan PIHAK
KEDUA akan memperpanjang hubungan kerja, maka PIHAK KESATU harus
memberitahukan kepada PIHAK KEDUA secara tertulis paling lambat 7
(tujuh) hari sebelum hubungan kerjanya berakhir, apabila tidak ada
pemberitahuan dari PIHAK KESATU maka Perjanjian Kerja dianggap tidak
diperpanjang.
(4) Dalam hal
pemberhentian atas permintaan PIHAK
KEDUA sebelum tanggal berakhirnya
Perjanjian Kerja ini, maka PIHAK KEDUA wajib menyampaikan surat permohonan pengunduran diri
selambat- lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tanggal pengunduran diri serta
menyampaikan laporan pertanggungjawaban tertulis kepada PIHAK KESATU atau pejabat lain yang ditunjuk oleh PIHAK KESATU.
(5) Dalam hal terjadi
pemutusan hubungan kerja karena pelanggaran yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA terhadap Peraturan Perusahaan
yang berlaku, maka PIHAK KESATU
tidak membayar ganti rugi apapun kepada PIHAK
KEDUA.
(6) Apabila PIHAK KEDUA terbukti memiliki hubungan
keluarga dengan salah seorang Karyawan Perusahaan PIHAK KESATU yang meliputi : suami-istri, kakak-adik kandung/tiri/angkat, orang
tua-anak kandung/tiri/angkat maka PIHAK KESATU akan melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja tanpa membayar ganti rugi apapun kepada PIHAK KEDUA.
k. Lain-Lain atau Penyelesaian
Perselisihan
Klausul
lainnya yang diperlukan yaitu mengenai penyelesaian perselisihan. Bak yang
terkait dengan penafsiran klausul-klausul perjanjian maupun jika salah satu
pihak melakukan pelanggaran. Contoh :
(1) Hal-hal yang
tidak diatur dalam
Perjanjian Kerja ini, berlaku
ketentuan –ketentuan yang tercantum
dalam Perjanjian Kerja Bersama
Antara PT. … dengan …..
(2) Dalam hal timbul
persengketaan akibat Perjanjian Kerja ini, maka penyelesaiannya dilakukan
secara musyawarah dan atau sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
(3) Perjanjian Kerja ini akan disesuaikan sebagaimana mestinya apabila
ada perubahan peraturan dan kebijakan Perusahaan PIHAK KESATU yang baru.
(4) Perjanjian
Kerja ini dibuat dalam rangkap 2 (dua) asli masing-masing sama bunyinya dan
mempunyai kekuatan hukum yang sama setelah ditandatangani serta masing-masing
pihak memegang satu asli untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
2.3.
Masa Percobaan
Pada
PKWT tidak dibolehkan mempersyaratkan adanya masa percobaan. Jika ada maka masa percobaan yang disyaratkan batal demi
hukum.[12]
Maknanya masa percobaan tersebut batal dengan sendirinya tanpa perlu adanya
putusan hakim. Konsekuensi hukumnya maka hak-hak pekerja tersebut selama periode
percobaan sama dengan hak-hak pekerja tidak tetap. Dan masa kontraknya dihitung
mulai masa percobaan.
2.4.
Syarat Materiil dan Syarat Formil PKWT
Selanjutnya kita harus memahami
syarat materiil dan syarat formil PKWT. Sebab kesalahan dalam memahami hal ini
dapat berakibat fatal. Yaitu berubahnya PKWT menjadi Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu (PKWTT). Artinya Perusahaan harus mempekerjakan buruh tersebut
sampai dengan usia pensiun. Atau jika Perusahaan ingin melakukan PHK sebelum
usia pensiun, maka Perusahaan harus membayar uang pesangon, uang penghargaan
dan uang ganti rugi sesuai ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku. Dan PHK juga
harus dilaksanakan sesuai dengan Pasal 151 Undang-Undang 13 Tahun 2003 dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
Syarat materiil dalam PKWT diatur
pada Pasal 59 ayat (1) dan (2) Undang-Undang 13 Tahun 2003 yaitu :
(1) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu :
a.
pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.
pekerjaaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun;
c.
pekerjaan
yang bersifat musiman;
d.
atau pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan
atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja
untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini
adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak
dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu
perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.
Pekerjaan yang bukan musiman
adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu.
Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak
terputus-putus, tidak dibatasi waktu,
dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau
pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan
tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap
sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu.[13]
Berdasarkan penjelasan ini yang
termasuk pekerjaan yang dapat menggunakan pola PKWT adalah pekerjaan-pekerjaan
tambahan dalam tahun berjalan yang melebihi kapasitas produksi yang telah
ditetapkan dalam rencana kerja Perusahaan, meskipun pada hakekatnya pekerjaan
tersebut memiliki sifat sebagai pekerjaan tetap.
Contohnya pekerjaan perawat pada rumah
sakit Anita yang sifatnya terus menerus dapat menggunakan pola PKWT. Dengan
catatan RS Anita pada awal tahun telah menetapkan jumlah perawat yang
dibutuhkan misalnya sebanyak 100 orang. Kemudian pada tahun berjalan ternyata
membutuhkan tambahan 50 perawat. Maka 50 orang perawat tersebut dapat
dipekerjakan dengan menggunakan pola PKWT.
Sedangkan syarat formilnya diatur pada Pasal
59 ayat (3), (4), (5) dan (6)
yang berbunyi :
(3)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat
diperpanjang atau diperbaharui.
(4)
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas
jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya
boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
(5)
Pengusaha
yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut,
paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(6)
Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya
dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari
berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian
kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2
(dua) tahun.
Hal ini akan dibahas secara
lebih mendalam dalam pembahasan perpanjangan, pembaruan dan jenis-jenis PKWT.
2.5.
Jenis-Jenis PKWT
Berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang 13 Tahun
2003 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100/MEN/VI/2004,
jenis-jenis PKWT dapat dibagi menjadi empat yaitu :
2.6.
Perpanjangan PKWT
Perpanjangan PKWT hanya
dapat dilakukan bagi PKWT untuk jenis Pekerjaan Yang Sekali Selesai Atau Yang
Sementara Sifatnya Yang Penyelesaiannya Paling Lama 3 (Tiga) Tahun. Atau bagi PKWT
Untuk Pekerjaan Yang Berhubungan Dengan Produk Baru, Kegiatan Baru atau Produk
Tambahan Yang Masih Dalam Masa Penjajakan.
Dengan pola kontraknya
adalah 2 tahun kemudian diperpanjang 1 tahun. Atau 1 tahun kemudian
diperpanjang 1 tahun. Atau 1,5 tahun kemudian diperpanjang 1 tahun. Atau dengan
prinsip umum kontrak pertama maksimal 2 tahun dengan perpanjangan maksimal 1
tahun.
Dalam hal perjanjian
kerja hendak diperpanjang maka Pengusaha harus memberitahukan maksudnya
tersebut minimal 7 hari sebelum perjanjian kerja berakhir.
Artinya bila
perjanjian kerja berakhir pada tanggal
30 Maret 2012 maka harus sudah disampaikan secara tertulis sebelum
tanggal 23 Maret 2012. Tentunya sangat baik bila hal tersebut sudah disampaikan
pada tanggal 22 Maret atau 21 Maret atau 20 Maret 2012.
Sehingga hal ini dapat
memberikan waktu yang cukup bagi pegawai untuk berfikir dalam melanjutkan
hubungan kerja.
2.7.
Pembaruan PKWT
Pembaruan PKWT hanya dapat
dilakukan bagi PKWT untuk jenis Pekerjaan Yang Sekali Selesai Atau Yang
Sementara Sifatnya Yang Penyelesaiannya Paling Lama 3 (Tiga) Tahun. Atau bagi PKWT
untuk pekerjaan tertentu (proyek).
Yang sebelumnya harus
diawali dengan adanya jeda minimal selama 30 hari kalender. Dalam masa jeda ini
pegawai tidak boleh masuk kerja, tidak ada pekerjaan dan tidak ada upah.
Dalam prakteknya seringkali
Pengusaha mempekerjakan pegawai dalam masa jeda. Yaitu pegawai tetap masuk
kerja, melaksanakan pekerjaan dan mendapatkan upah. Untuk mengelabuinya,
Pengusaha sering membayarkan upah dengan cara tunai, sehingga tidak ada bukti
tertulis yang dipegang oleh pegawai.
Atau dalam masa jeda,
Pengusaha mengalihkan hubungan kerja pegawai kepada perusahaan pemborongan jasa
pekerja.
Khusus bagi PKWT untuk
pekerjaan tertentu dapat menghilangkan adanya masa jeda. Dengan catatan hal ini
telah dituangkan dalam perjanjian kerjanya.[14]
Adapun klausulnya dapat dibaca pada contoh berikut ini :
(1) Dalam hal suatu kondisi tertentu pekerjaan Proyek
belum selesai dan diperpanjang oleh Pemberi Proyek maka PIHAK KESATU dan PIHAK KEDUA
sepakat untuk melakukan Pembaruan Perjanjian ini dengan meniadakan persyaratan
jeda waktu selama 30 (tiga puluh) hari, yang selanjutnya akan dituangkan dalam
Pembaruan Perjanjian tersendiri.
(2) Pembaruan Perjanjian sebagaimana dimaksud ayat (1)
Pasal ini, akan diberitahukan oleh PIHAK
KESATU secara tertulis kepada PIHAK
KEDUA selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sebelum
berakhirnya Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3) Dalam hal PIHAK
KEDUA tidak berkehendak untuk melakukan Pembaruan Perjanjian sebagaimana
dimaksud ayat (1) Pasal ini, maka selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari
kerja sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini,
maka PIHAK KEDUA wajib
memberitahukan secara tertulis kepada PIHAK
KESATU.
2.8.
Berakhirnya PKWT
Berakhirnya PKWT diatur
dalam Pasal 61 Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dari ayat
(1) sampai ayat (5) yaitu :
(1) Perjanjian kerja berakhir
apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan
dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang
dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja
tidak berakhir karena
meninggalnya pengusaha atau
beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan,
pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak
pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain
dalam perjanjian pengalihan yang tidak
mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal
dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah
merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh
meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak‑haknya sesuai
dengan peraturan perundang‑undangan yang
berlaku atau hak‑hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
2.9.
Ganti Rugi
Adapun ketentuan ganti rugi diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang
13 tahun 2003 yang berbunyi :
”Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan
kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja
waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(1), pihak yang mengakhiri hubungan
kerja diwajibkan membayar ganti rugi
kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya
jangka waktu perjanjian kerja.”
Dalam prakteknya Pasal ini sering menyulitkan pekerjaa,
lebih-lebih jika pekerja tersebut diterima pada Perusahaan lain dalam masa
kontrak kerja. Maka mau tidak mau yang bersangkutan wajib membayar sisa kontrak
kerja yang harus diselesaikannya.
Misalnya Haryanto
bekerja pada PT A dari tanggal 01 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2012
dengan upah sebesar Rp. 5.000.000.
Namun pada tanggal 01 Juli, Haryanto
diterima di PT B, maka ia mengajukan permohonan pengunduran diri kepada PT A.
Dalam kondisi seperti ini maka Haryanto
harus membayar kepada PT A sebesar 6 x Rp. 5.000.000 atau Rp. 30.000.000.
Hal ini tentu sangat menyulitkan pekerja. Karena itu
sesuai asas kebebasan kontrak, pekerja dapat merundingkan hal ini dengan
pengusaha agar meniadakan klausul ganti rugi.
Namun konsekuensinya, bila Pengusaha memutuskan
perjanjian kerja dalam masa kontrak, pengusaha juga tidak berkewajiban membayar
ganti rugi.
Inilah yang disebut asas keseimbangan antara
pepekerja dengan pengusaha.
2.10. Pencatatan PKWT
Pencataan PKWT diatur dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Pasal 13 dan 14 yang berbunyi :
“PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja sejak penandatanganan.” (Pasal 13)
“Untuk
perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 maka yang
dicatatkan adalah daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(2).” (Pasal 14).
Namun dalam prakteknya jarang
sekali Pengusaha mendaftarkan perjanjian kerjanya kepada Suku Dinas Tenaga
Kerja & Transmigrasi atau Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi.
Karena hal ini hanyalah masalah
administratif yang tidak memiliki dampak hukum. Selain juga secara perdata
perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang menyepakatinya. Sehingga peran
pihak ketiga tidak terlalu signifikan.
Walaupun maksudnya adalah baik
yaitu dalam rangka tertib administrasi dan untuk melindungi posisi pekerja dari
kesewenang-wenangan Pengusaha.
BAB
III
JENIS-JENIS
PKWT
Pekerjaan
yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu
kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus,
tidak terputus putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu
proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena
adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan
musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi obyek
perjanjian kerja waktu tertentu.[15]
Jenis
pekerjaan ini harus memenuhi syarat : (1) Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang
pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca. (2) PKWT yang dilakukan untuk
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk satu jenis
pekerjaan pada musim tertentu.[16]
Dan (1)
Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target
tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman. (2) PKWT yang
dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.[17]
Pengusaha
yang mempekerjaan pekerja/buruh berdasarkan PKWT sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 harus membuat daftar nama pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan
tambahan.[18]
Serta PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat
dilakukan pembaharuan.[19]
Contohnya
adalah pekerjaan pengemudi untuk mengangkut durian pada musim durian. Atau
pengepak duku pada musim duku. Atau kuli panggul jagung pada musim panen jagung.
PKWT ini
juga dapat digunakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap namun dalam
pelaksanaannya terjadi penambahan tenaga diluar perencanaan tenaga kerja yang
telah ditetapkan oleh Perusahaan.
Misalnya
tahun 2011, PT A yang bergerak di bidang surveyor telah menganggarkan 100
pegawai untuk jabatan Inspektor. Namun dalam bulan tertentu pada tahun 2011
tiba-tiba terjadi penambahan volume pekerjaan sehingga membutuhkan tambahan 50
inspektor. Atau ada tambahan pesanan dari pelanggan. Maka tambahan 50 orang ini
dapat menggunakan PKWT musiman.
PKWT pada jenis ini
tidak dapat dilakukan perpanjangan dan juga pembaruan perjanjian kerja.
(1) PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk
melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) PKWT sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2
(dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun.
(3) PKWT sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan pembaharuan.[20]
PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya boleh
diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau
di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.[21]
Jadi produk atau jasa yang dikerjakan oleh pekerja adalah produk
baru yang belum pernah dipasarkan atau diproduksi selama ini. Misalnya sebuah
perusahaan jamu sebelum tahun 2011 telah memiliki produk A sampai dengan G.
Lalu pada tahun 2012 mengembangkan produk H dan I. Maka produk H dan I tersebut
dapat menggunakan tenaga PKWT.
Untuk PKWT jenis ini hanya dapat diperpanjang, namun tidak dapat
diperbarui. Jangka waktunyapun hanya 2 tahun. Sehingga pola kontrak yang
mungkin adalah 1 tahun kemudian diperpanjang 1 tahun. Atau 2 tahun sekaligus
tanpa perpanjangan. Atau 1,5 tahun kemudian ½ tahun. Atau 1,2 tahun kemudian
0,8 tahun dan seterusnya.
1) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara
sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
(2) PKWT
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun.
(3) Dalam
hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT
tersebut putus demi hukum pada saaat selesainya pekerjaan.
(4)
Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan
batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
(5)
Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena
kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan
pembaharuan PKWT.
(6)
Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah melebihi masa
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
(7)
Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (6)
tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.
(8)
Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) yang
dituangkan dalam perjanjian.[22]
(1)
Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume
pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan
perjanjian kerja harian atau lepas.
(2)
Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu ) hari
dalam 1 (satu)bulan.
(3) Dalam
hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah
menjadi PKWTT.[23]
Perjanjian
kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada
umumnya.[24]
Selanjutnya
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara
tertulis dengan para pekerja/buruh.
(2) Perjanjian kerja harian
lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuat berupa daftar
pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
sekurang-kurangnya memuat :
- nama/alamat
perusahaan atau pemberi kerja.
- nama/alamat pekerja/buruh.
- jenis pekerjaan yang dilakukan.
- besarnya upah
dan/atau imbalan lainnya.
(3) Daftar pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak mempekerjakan pekerja/buruh.[25]
Berdasarkan
ketentuan di atas maka perjanjian kerja harian lepas dapat dibuat dalam bentuk
perjanjian kerja PKWT pada umumnya dengan
ketentuan memenuhi syarat materiil dan formil atau dalam bentuk daftar.
Hubungan antara jenis perjanjian kerja, perpanjangan
perjanjian kerja dan pembaruan perjanjian kerja dan total waktu maksimal dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Jenis Perjanjian kerja
|
Perpanjangan
|
Pembaruan
|
Total Waktu Maksimal
|
PKWT Untuk Pekerjaan Yang Sekali Selesai Atau Yang
Sementara Sifatnya Yang Penyelesaiannya Paling Lama 3 (Tiga) Tahun
|
Dapat
|
Dapat
|
5 tahun
|
Tidak
dapat
|
Tidak
dapat
|
1 musim
|
|
Dapat
|
Tidak dapat
|
2 tahun
|
|
Tidak dapat
|
Dapat
|
3 tahun
|
|
|
Tidak dapat
|
Tidak dapat
|
20 hari per bulan dan kurang dari 3 bulan
|
BAB
IV
AKIBAT
HUKUM KESALAHAN PKWT
Pada
intinya akibat hukum dalam PKWT hanya satu. Yaitu berubahnya hubungan kerja
dari PKWT menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) sejak
terjadinya kesalahan. Baik kesalahan materiil yang terkait dengan pekerjaannya maupun
kesalahan formil yang terkait dengan waktunya atau perpanjangannya atau
pembaruan atau masa jedanya. Untuk kesalahan materiil dihitung sejak adanya
kesalahan materiil yaitu sejak adanya hubungan kerja. Sedangkan untuk kesalahan
formil dihitung sejak terjadinya kesalahan formil.
Namun dalam
prakteknya untuk membuktikan kesalahan ini sangat sulit, apalagi bila pengusaha
tetap bersikukuh dengan keyakinannya bahwa pengusaha merasa tidak bersalah.
Maka jalan penyelesaiannya menjadi sangat panjang dan melelahkan yaitu melalui
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Apalagi dalam proses
ini yang dipegang adalah kebenaran formil. Yaitu kebenaran berdasarkan
alat-alat bukti, khususnya alat bukti tertulis. Maka dalam posisi ini pekerja
sangat kesulitan dalam membuktikannya. Sebab biasanya pekerja tidak memiliki
akses yang cukup untuk mendapatkan alat-alat bukti secara tertulis.
4.1. Perubahan PKWT Menjadi PKWTT
Ada
sekitar permasalahan yang harus
diwaspadai oleh pengusaha agar tidak melakukan kesalahan dalam melakukan
hubungan kerja dengan pola PKWT yaitu :
1.
Karena PKWT dibuat dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa
latin. Misalnya dibuat dalam bahasa inggris saja. Atau dibuat dengan bahasa
arab, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.[26]
Contohnya Ahmad dikontrak oleh PT X
sebagai Pegawai dengan status PKWT sejak tanggal 01 Januari 2011 sampai dengan
31 Desember 2013 dengan menggunakan bahasa Arab saja. Maka status Ahmad berubah
menjadi PKWTT sejak tanggal 01 Januari 2011.
Agar tidak terjadi kesalahan maka PT X
dapat membuat PKWT Ahmad dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa
arab.
2.
Karena PKWT musiman digunakan untuk pekerjaan yang tidak ada kaitannya
dengan cuaca atau musim tertentu, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya
hubungan kerja.[27]
Contohnya Budi bekerja pada PT Buah
Segar sebagai kasir dengan pola PKWT untuk periode 01 Maret 2010 sampai dengan
28 Februari 2011. Maka hubungan kerja Budi berubah menjadi PKWTT sejak tangga
01 Maret 2010.
3.
Karena PKWT musiman digunakan untuk pekerjaan yang bukan pekerjaan
tambahan. Misalnya untuk pekerjaan rutin, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak
adanya hubungan kerja.[28]
Contohnya Amir bekerja pada PT Ribut
Terus sebagai akunting dengan pola PKWT untuk periode 01 April 2011 sampai
dengan 31 Desember 2011, maka hubungan kerja Amir burubah menjadi PKWTT sejak
adanya hubungan kerja.
Lain halnya jika posisi akunting
tersebut terkait dengan adanya pesanan tambahan di luar rencana kerja yang
telah ditetapkan dalam RKAP. Maka posisi tersebut dapat menggunakan hubungan
kerja dengan pola PKWT musiman.
4.
Karena PKWT untuk produk baru menyalahi syarat formil. Yaitu kontrak
pertamanya lebih dari dua tahun. Atau perpanjangannya perjanjian kerjanya lebih
dari satu tahun. Maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya kesalahan formil.[29]
Contohnya Ronaldo bekerja pada perbankan
sebagai tenaga analis kredit untuk jasa baru pada PT Bank Sentosa dengan
kontrak awal selama 2 tahun terhitung sejak tanggal 01 Maret 2008. Lalu
diperpanjang mulai tanggal 01 Maret 2010 sampai dengan 30 Juni 2011. Maka sejak
tanggal 01 Maret 2011 hubungan kerja Ronaldo berubah menjadi PKWTT. Lain halnya
jika perpanjangannya sampai dengan 28 Februari 2011, maka PKWT berjalan
sebagaimana adanya dan berakhir demi hukum pada tanggal 28 Februari 2011.
5.
Karena PKWT untuk produk baru menyalahi syarat formil. Yaitu setelah
diperpanjang kemudian dilakukan pembaruan perjanjian kerja. Maka PKWT berubah
menjadi PKWTT sejak adanya kesalahan formil.[30]
Contohnya Ronaldo bekerja pada
perbankan sebagai tenaga analis kredit untuk jasa baru pada PT Bank Sentosa
dengan kontrak awal selama 2 tahun terhitung sejak tanggal 01 Maret 2008. Lalu
diperpanjang mulai tanggal 01 Maret 2010 sampai dengan 28 Februari 2011.
Kemudian dilakukan jeda selama 30 hari dan selanjutnya dilakukan pembaruan
perjanjian kerja selama 2 tahun mulai
tanggal 01 April 2011. Maka PKWT Ronaldo berubah menjadi PKWTT terhitung sejak
tanggal 01 April 2011.
Agar tidak terjadi pelanggaran maka
PKWT Ronaldo tidak perlu dijeda dan dilakukan pembaruan atau dengan kata lain
berakhir demi hukum dengan sendirinya pada tanggal 28 Februari 2011.
6.
Karena PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 tahun ketika dilakukan pembaruan
tidak didahului dengan jeda selama minimal 30 hari setelah perpanjangan PKWT
atau tidak diperjanjikan lain untuk PKWT pekerjaan tertentu (proyek, maka PKWT
berubah menjadi PKWTT sejak terjadinya kesalahan.[31]
Contohnya Adi bekerja pada PT Cahaya
yang bergerak di bidang penjualan alat-alat listrik yang baru berdiri pada
Januari 2008 sebagai tenaga teknisi elektrik dengan PKWT mulai tanggal 01
Januari 2008 s/d 31 Desember 2009, kemudian diperpanjang satu tahun sampai
tanggal 31 Desember 2010. Kemudian Adi dijeda selama 14 hari, lalu PKWTnya
diperbarui mulai tanggal 15 Januari 2011 sampai dengan 14 Januari 2013.
Karena dalam pembaruannya tidak
didahului dengan masa jeda minimal 30 hari, maka PKWT berubah menjadi PKWTT
sejak tanggal 15 Januari 2011. Agar tidak terjadi kesalahan maka PKWT Adi
seharusnya dijeda selama minimal 30 hari mulai tanggal 01 Januari 2011 sampai
dengan 31 Januari 2011, kemudian diperbarui sejak tanggal 01 Februari 2011
sampai dengan tanggal 31 Januari 2013.
Contoh lainnya Andi bekerja pada PT
Sinar dengan PKWT untuk pekerjaan tertentu dalam proyek BP Migas periode 01
Maret 2010 sampai dengan 28 Februari 2012 atau sampai dengan berakhirnya proyek
BP Migas tersebut.
Namun karena pekerjaan belum selesai BP
Migas memperpanjang proyeknya hingga akhir tahun 2012. Untuk itu maka PT Sinar
langsung melakukan pembaruan PKWT Andi sampai dengan 31 Desember 2012 tanpa
melalui masa jeda. Dan setelah dikaji ternayata pada PKWT Andi tidak ada aturan
yang meniadakan masa jeda dalam PKWTnya bila proyek belum selesai. Berdasarkan
fakta tersebut maka PKWT Andi berubah menjadi PKWTT sejak tanggal 01 Maret
2012.
Agar PKWT Andi tidak melanggar
ketentuan, seharusnya PT Sinar mencantumkan klausul tentang peniadaan waktu
jeda dalam PKWT proyek tersebut. Sehingga apabila tiba-tiba ada perpanjang
proyek dari BP Migas, PT Sinar dapat langsung melakukan pembaruan PKWT Andi
tanpa melalui masa jeda.
4.2. Penyelesaian Kasus PKWT Menjadi PKWTT
Lalu bagaimana cara penyelesaian kasus PKWT menjadi PKWTT? Pada
Pasal 15 ayat (5) Kepmenakertrans 100/MEN/VI/2004 dinyatakan maka hak-hak
pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan bagi PKWTT.
Secara rinci penyelesaian ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Republik Indonesia
Nomor PER.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial Melalui Perundingan Bipartit.
Yang secara garis besar dimulai dengan penyelesaian
secara bipartit antara perusahaan dengan pekerja. Bila tidak selesai dapat
dilanjutkan melalui mekanisme tripartit, bisa melalui Mediator, Konsiliator
atau Arbiter sesuai dengan kewenangannya.
Bila tidak selesai juga, maka dapat dilanjutkan
melalui pengadilan hubungan industrial. Dalam pengadilan ini digunakan hukum
acara perdata. Mulai dari gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian,
kesimpulan dan putusan.
Namun sebaiknya kedua belah pihak menyelesaikan
permasalahan ini secara bipartit. Yaitu melalui musyawarah kekeluargaan
diantara pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha. Karena penyelesaian
melalui pengadilan memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Sehingga hal
ini tentu saja sangat membebani kedua belah pihak.
Riwayat Hidup Penulis
1. Haryanto
Selanjutnya
kuliah di IKIP Jakarta jurusan Pendidikan Matematika lulus pada tahun 1989.
Setelah itu bekerja sebagai guru Matematika di SMA At Taqwa Bekasi. Tahun
1990-1992 ia menjadi guru privat dan mendirikan serta mengelola bimbingan
belajar Widya Utama. kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia lulus tahun
2004.
Tahun
1992 ia diterima bekerja di PT SUCOFINDO (Persero). Lebih kurang 18 tahun
lamanya menangani berbagai tugas yang berkaitan dengan pengelolaan Sumber Daya
Manusia. Mulai dari jabatan fungsional, pendidikan dan latihan, rekrutmen,
pengembangan karir dan hubungan industrial. Dengan jabatan saat ini sebagai
Industrial Relation Manager.
Pernah
aktif menulis di berbagai media. Diantaranya Republika, Suara Karya dan Harian
Pelita. Buku pertamanya yaitu ”Indonesia Negeri Judi?”, “Rasulullah Way
Managing People”, “Muslim Tanpa Embel-Embel” dan “Energi Ayat Kursi.” Serta
buku yang ada di tangan pembaca, “Kupas Tuntas PKWT.”
2. Agus Suharmanu
Daftar Bacaan
n
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
n
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1956 tanggal 29 Agustus 1956 tentang
Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 Mengenai
Berlakunya Dasar-Dasar Daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding
Bersama.
n
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 tanggal 12 Januari 1970 tentang
Keselamatan Kerja.
n
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tanggal 4 Agustus 2000 tentang Serikat Pekerja /
Serikat Buruh.
n
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
n
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
n Keputusan
Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tanggal 5 Juni 1998 tentang Ratifikasi Konvensi
ILO Nomor 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
Berorganisasi.
n
Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-05/MEN/1996 tanggal 12 Desember 1996 tentang
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
n Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor KEP-233/MEN/VI/2003 tanggal 31 Oktober 2003 tentang Jenis Dan
Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Secara Terus Menerus.
n Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor Kep-48/Men/IV/2004 Jo Permenakertrans Nomor 08/2006 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan
Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
n
Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
Kep-100/Men/VI/2004 tanggal 21 Juni 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
n
Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
Kep-101/Men/VI/2004 tanggal 21 Juni 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.
n Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor 102/MEN/VI/2004 tanggal 25 Juni 2004 tentang Waktu Kerja Lembur
dan Upah Kerja Lembur.
n
Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-220/Men/VI/2004
tanggal 19 Oktober 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
n
Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Republik Indonesia Nomor PER.31/MEN/XII/2008 tanggal 30 Desember
2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui
Perundingan Bipartit.
n
Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor PER.32/MEN/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang
Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit.
n
Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor SE-04/M/BW/1996 tanggal 8
Januari 1996 tentang Larangan Diskriminasi Bagi Pekerja Wanita Dalam Peraturan
Perusahaan Atau Kesepakatan Kerja Bersama.
n
Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji
Materiil UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945.
n
Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
SE.907/MEN-/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal.
n
Hadi
Setia Tunggal, Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Harvarindo(Jakarta:2008).
n
F. X.
Djumialdji, S.H., Perjanjian Kerja, Bumi Aksara (Jakarta:1992).
n
I. G.
Rai Widjaya, S.H., M.A., Merancang Suatu Kontrak : Teori dan Praktek, Kesaint
Blanc (Jakarta:2003).
n
Iman
Soepomo, Prof., Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan
(Jakarta:2001).
n
Iman
Soepomo, Prof., Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan (Jakarta:2003).
n
Zainal
Asikin, S.H., SU., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajagrafindo Persada
(Jakarta:2002).
n
Henry
Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia,
STIE YKPN, (Yogyakarta :1995.
n
HRD Consortium, Effective Competency
Based Interviewing Techniques, bahan Pelatihan, Jakarta, 2004.
n
Ratna
Jatnika., Lokakarya Manajemen SDm Berbasis Kompetensi, Bahan pelatihan, Sinergi
(Bandung:2005).
n
Joko
Siswanto, DR., Materi Pelatihan SDM, Manajemen SDM Berbasis Kompetensi.
n ______, Lokakarya Implementasi Manajemen SDM Berbasis
Kompetensi, Sinergi (Bandung:2003).
n Spencer, M. Lyle, Competence At Work, John Wiley & Sons
(Canada:1993).
n
Dan
berbagai materi pelatihan lainnya.
[1]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun
tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 15.
[2] Ibid
angka 30.
[3]
Ibid angka 3
[4]
Ibid angka 4
[5]
Ibid angka 5
[6]
KUH Perdata, Pasal 1338
[7] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Pasal 1 angka 1.
[8] UU 13 tahun 2003, penjelasan Pasal 59
ayat (2).
[9] UU 13 Tahun 2003, Pasal 57
[10] Pasal 54 UU 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
[12] Pasal 58 UU 13 Tahun 2003
[13] Penjelasan Pasal 59 ayat (2) UU 13
Tahun 2003.
[14]Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu ,Pasal 3 ayat (8)
[15] UU 13 Tahun 2003, Penjelasan Pasal 59
ayat (2).
[16] Kepmenakertrans Nomor 100/MEN/VI/2004, Pasal
4.
[17]
Ibid Pasal 5.
[18]
Ibid Pasal 6.
[19]
Ibid Pasal 7.
[20]
Kepmenakertrans 100/MEN/VI/2004, Pasal
8.
[21]
Ibid Pasal 9.
[22]
Ibid Pasal 3.
[23]
Ibid Pasal 10.
[24]
Ibid Pasal 11.
[25]
Ibid Pasal 12.
[26]
Ibid Pasal 15 ayat (1).
[27]
Ibid Pasal 15 ayat (2).
[28]
Ibid Pasal 15 ayat (2).
[29]
Ibid Pasal 15 ayat (3).
[30]
Ibid Pasal 15 ayat (3).
[31]
Ibid Pasal 15 ayat (4)
No comments:
Post a Comment