Menentukan Jatuhnya
Tanggal 1 (Satu) Syawal
Penjelasan dalam bab ini serupa dengan pembahasan Bab Cara
Penentuan Bulan Ramadlan. Ada
satu penjelasan penting dalam bab ini untuk penekanan pentingnya menjaga
persatuan umat (di atas sunnah).
Syaikh Al-Albani berkata :
“Inilah yang sesuai dengan syari’at yang mudah ini (yaitu : berpuasa dan
berhari raya ‘Iedul-Fithri bersama masyarakat/orang banyak – tidak menyendiri)
yang diantara tujuan-tujuannya adalah menyatukan umat dan menyamakan
barisan-barisan mereka, serta menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang dapat
mencerai-beraikan persatuan mereka dari pemikiran-pemikiran individualistis,
sehingga syari’at tidaklah memihak kepada pemikiran seseorang – walaupun benar
dari sudut pandang dirinya – dalam peribadatan yang bersifat jama’i seperti
puasa, hari raya, dan shalat berjama’ah. Tidaklah Anda pernah melihat bahwa
para shahabat radliyallaahu ‘anhum, mereka sebagiannya shalat di belakang
lainnya dalam keadaan di antara mereka ada yang menilai bahwa menyentuh wanita,
kemaluan, atau keluarnya darah termasuk pembatal-pembatal wudlu.
Sebagian mereka
ada yang shalat secara sempurna di waktu safar, dan sebagian lagi ada yang
mengqasharnya ? Kendatipun demikian, perselisihan mereka dengan yang lainnya
tidaklah menjadi penghalang bagi mereka untuk berkumpul (bersatu) di dalam
masalah shalat di belakang imam yang tunggal, sehingga mereka tidak berpecah
karenanya. Hal itu karena pengetahuan mereka bahwa perpecahan dalam agama lebih
jelek dari sekedar perbedaan sebagian pendapat. Bahkan sampai pada tingkatan
dimana sebagian mereka tidak menghiraukan suatu pendapat yang menyelisihi
pendapat imam besar di lingkup yang lebih besar seperti ketika di Mina, hingga
mendorongnya untuk meninggalkan pendapat pribadi secara mutlak dalam lingkup
tersebut, demi menjauhi akibat buruk yang akan ditimbulkan karena beramal dari
hasil pemikirannya (yang menyelisihi imam)”. Maka diriwayatkan oleh Abu Dawud
1/307 (sebuah contoh yang sangat baik dalam masalah ini) :
أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا , فقال عبد الله بن
مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله
عليه وسلم ركعتين , و مع أبي بكر ركعتين , و مع عمر ركعتين , و مع عثمان
صدرا من إمارته ثم أتمها , ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين
متقبلتين , ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت
أربعا ! قال : الخلاف شر .
Bahwasannya ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu shalat di Mina empat raka’at,
maka berkatalah Abdullah bin Mas’ud dalam rangka mengingkari perbuatannya :
“Aku shalat (ketika safar) bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dua
raka’at, bersama Abu Bakar dua raka’at, dan bersama ‘Umar dua raka’at, dan
bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, kemudian beliau melakukannya dengan
sempurna (empat raka’at – tidak diqashar), kemudian kalian berselisih, dan aku
ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at (sebagaimana
dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam) Akan tetapi kemudian Ibnu Mas’ud
shalat empat raka’at. Maka ditanyakan kepadanya : Engkau telah mencela
perbuatan ‘Utsman, namun engkau sendiri shalat empat raka’at ?”. Maka beliau
menjawab : “Perselisihan itu jelek”
[selesai - Lihat selengkapnya
dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 224].
Dalam atsar Ibnu Mas’ud
radliyallaahu ‘anhu tersebut tergambar sebuah pemahaman yang agung dalam
menjaga persatuan umat [1].
Tidak dipungkiri di sini bahwa apa yang menjadi pendapat Ibnu Mas’ud itulah
yang benar, yaitu mengqashar shalat ketika mabit di Mina sebagaimana yang
dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam – dan itulah yang
berlaku hingga kini.
[1] Atsar tersebut janganlah dipahami bahwa upaya
menjaga persatuan dan kesatuan umat menafikkan nasihat dan penyampaian
kebenaran. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud dan para
shahabat lain tetap menyampaikan nasihat kepada ‘Utsman bin ‘Affan
radliyallaahu ‘anhum. Hal ini merupakan satu upaya untuk menampakkan al-haq dan
tidak menyembunyikankannya. Dan kebenaran itu memang harus disampaikan.
No comments:
Post a Comment