I’tikaf
1.
Pengertian I’tikaf
Secara syari’at makna i’tikaf adalah bertempat tinggal di
masjid[1]
dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah ta’ala [2]
yang dilakukan dengan sifat-sifat tertentu [3].
2.
Disyari’atkannya I’tikaf
Disunnahkan i’tikaf di bulan Ramadlan dan bulan lainnya
sepanjang tahun. I’tikaf yang paling
utama adalah pada bulan Ramadlan, berdasarkan hadits Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu :
كان
النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام فلما كان العام الذي قبض
فيه اعتكف عشرين يوما
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam biasanya
beri’tikaf selama sepuluh hari setiap bulan Ramadlan. Maka ketika di tahun wafatnya, beliau
beri’tikaf selama dua puluh hari” (HR. Bukhari no. 1939).
أن
النبي صلى الله عليه وسلم كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله
“Bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan hingga Allah mewafatkan
beliau” (HR. Bukhari no. 1922 dan Muslim no. 1173 dari ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa).
3.
Waktu Pelaksanaan I’tikaf
Disunnahkan memulai i’tikaf setelah shalat fajar (shubuh),
sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa
tentang i’tikaf Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
إذا
أراد أن يعتكف صلى الفجر ثم دخل معتكفه
“Bila beliau hendak i’tikaf, maka beliau shalat fajar
kemudian masuk ke tempat i’tikaf-nya” (HR. Muslim no. 1173).
4.
Syarat-Syarat I’tikaf
a.
Islam.
b.
Berakal/Tamyiz.
c.
Niat.
d.
Tidak disyari’atkan melakukan
i’tikaf selain di masjid, berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَلاَ
تُبَاشِرُوهُنّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Janganlah kamu campuri istri-istri kalian, sedangkan
kamu dalam keadaan i’tikaf di dalam masjid” (QS. Al-Baqarah : 187).
e.
Disunnahkan bagi yang ber-i’tikaf
hendaknya berpuasa, sebagaimana yang dijelaskan dalam atsar dari ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa :
ولا
اعتكاف إلا بصوم
“Termasuk sunnah bagi
yang beri’tikaf adalah berpuasa” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2473 dan
Baihaqi dalam Ash-Shughra no. 1477;
hasan shahih. Lihat Shahih Sunan Abi
Dawud 2/87).
Puasa adalah syarat i’tikaf merupakan madzhab jumhur ulama
salaf (lihat Nashbur-Rayah 2/488 dan Ad-Durrul-Mantsur 1/485).
5.
Larangan I’tikaf
a.
Berjima’/Bersetubuh dengan Istri
Hal ini berdasarkan firman
Allah ta’ala :
وَلاَ
تُبَاشِرُوهُنّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan janganlah kalian
bercampur (berjima’) dengan istri-istri kalian sedangkan kalian dalam keadaan
i’tikaf di dalam masjid” (QS. Al-Baqarah : 187).
Asy-Syaukani rahimahullah dalam
kitab As-Sailul-Jarar 2/136 berkata,”Dan hal itu adalah merupakan ijma’
(kesepakatan) ummat (para ulama’)”. (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu
Hazm dalam Maraatibul-Ijma’ hal. 48).
b.
Keluar dari Masjid
Di antara petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
adalah bila beliau melakukan i’tikaf, maka beliau menyendiri di tempat i’tikafnya
dan tidak masuk ke rumahnya (keluar dari masjid) kecuali karena hajat manusia
yang sifatnya mendesak, seperti mandi apabila junub karena mimpi, buang hajat,
dan lainnya.
عن
عائشة قالت كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا اعتكف يدني إلي رأسه فأرجله وكان لا
يدخل البيت إلا لحاجة الإنسان
Dari
‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam apabila beliau beri’tikaf, beliau mencondongkan kepalanya dan
aku menyisir rambutnya. [4] Tidaklah beliau masuk rumah kecuali karena
hajat manusia” (HR. Muslim no. 297).
Ibnu Hazm berkata : [واتفقوا
على أن من خرج من معتكفه في المسجد لغير حاجة ولا ضرورة ولا بر أمر به أو ندب اليه
فان اعتكافه قد بطل] “Mereka bersepakat
bahwa sesungguhnya seseorang yang keluar dari tempat i’tikafnya di masjid tanpa
ada satu keperluan, tanpa dlarurat, atau tidak karena kebaikan yang
diperintahkan atau disunnahkan; maka i’tikafnya batal” (Maratibul-Ijma’ halaman 40).
6.
Hal-Hal yang Diperbolehkan dalam
I’tikaf
a.
Keluar dari tempat I’tikaf untuk
satu keperluan yang mendesak.
b.
Memperindah rambut dan
menyisirnya.
c.
Berwudlu dan semisalnya di
masjid. Telah diriwayatkan dari seorang shahabat, bahwa dia berkata :
حفظت
لك ان رسول الله صلى الله عليه وسلم توضأ في المسجد
“Aku
menghafal buatmu, bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
berwudlu di masjid” (HR. Ahmad no. dengan sanad shahih).
d.
Membuat tenda kecil atau yang
serupa dengannya di belakang masjid untuk i’tikaf. ‘Aisyah telah membuat khuba’ [5]
buat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam i'tikaf [6]
dan hal itu dengan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam [7].
Dan sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah satu kali
beri’tikaf di dalam Qubbah Tarkiyyah [8]
sedang di atas suddah [9]-nya
ada tikaf [10].
[3] Lihat Syarhu Muslim (8/66) oleh
Imam Nawawi
[4] Beliau mencondongkan kepalanya dengan
posisi badannya masih berada di masjid, untuk disisir ‘Aisyah yang berada di
rumahnya. Sebagaimana diketahui bahwasannya rumah beliau dekat dengan masjid.
Ini menunjukkan bahwa beliau tidak keluar dari masjid kecuali ada kebutuhan
yang sangat mendesak.
[5] Yaitu rumah kecil dari bulu domba (wol)
yang ditegakkan di atas dua atau tiga tiang, sebagaimana yang dkatakan
Ibnul-Atsir dalam An-Nihaayah (2/9).
[6] Dikeluarkan oleh Bukhari 4/226.
[7] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1183.
[8] Yaitu sejenis qubah kecil.
[9] Naungan yang diletakkan di atas pintu
untuk menjaga diri dari hujan dan sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam telah meletakkannya agar hati orang yang i'tikaf tidak terganggu oleh
orang yang lewat di depannya dan dapat memperoleh maksud (tujuan) i'tikaf.
Lihat Risaalah Qiyaami Ramadlaan
halaman 26.
[10] Dikeluarkan oleh Muslim no. 1167.
No comments:
Post a Comment